" OM AWIGNAMASTU NAMA SIDAM "
“ ONG KSAMA SWAMEM MAHA
DEWEM, BRAHMA WISNU MAHESWAREM, GURU REKEM SARAS WATIYEM, NUGERAHAKEM KAWIYEM
MURTTI, SARWA PRANI HITANGKAREM, MAMOCA SARWA PAPEBIYOH TAH SIREM CINTIYEM
NIRBAHAH, STITAH CRETAH LINGGIYEM
MIAGENA GIRINDRA SDEWA NAMASTA PURWEM STANAH THE BALIYATO, DAMPATIYO
KANKANAH KAOT BATUR TINGKALOR BALIYATO “
Pada jaman dahulu kala, tersebutlah ada Hyang dari
Maspahit datang ke Bali, bergelar Bhatara Gede Gunung Agung, yang beristana di
bagian Timur Pulau Bali, beliau mempunyai seorang permaisuri Bhatara Mas Kaot
gelarmya, masih bersaudara misan dalam melaksanakan perkawinan, beliau
selamanya beristana di Bali Utara, tiada lain Batur namanya.
“ INDRA PUTREM TAH
GIRINDRA, PUTWASTE GURU TO DEWEM PRASDDHIYEM GNI DIYO SKANAH, HYANG MAHOTTA
MIYEM PURWAKAH “
Betara Gede Gunung Agung adalah cucu dari Bhatara Guru di
Gunung Semeru, dan Putra dari Bhatara Indra, dulu lahir di Mahameru, lalu
putranya di tinggal pergi ke Bali, berselang beberapa lama datanglah Bhatara
Mas Membah dari Semeru dengan mengajak Bhatara Gede Gunung Agung dan Bhatara
Mas Kaot yaitu putra dari Bhatara Pemayun di Semeru, juga adalah cucu dari dari
Bhatara Guru, jadi bersaudara misan dari Bhatara Gede Gunung Agung, yang
keduanya lalu melaksanakan perkawinan serta selamanya penuh ketentraman.
“ GIRI SOR DHANU
HIRINGNUYA, LORIM PANARJWAM GIRITAH HUTARWIYEM GIRI RAKTENAH BATUR GIRYA GHNI
MURTTATE”
Adapun
Bhatara Mas Membah di gunung Batur beliau beristana diiringi oleh Bhatara Mas
Kaot. Apa sebab bernama Gunung Batur, karena mengeluarkan api setiap sasih
kedasa, bagaikan Guntur suaranya, tersembur api dari lubang kepundannya,
bagaikan kobaran api
berdiri tegak keadaannya disertai dengan gempa bumi, demikianlah keutamaan
gunung itu.
Selama pertemuan Bhatara Gede Gunung Agung dengan Bhatara
Mas Kaot, lalu mengandunglah dan pada saat bulan purnama sasih kedasa, lahirlah
putra beliau laki-laki sempurna dan sangat tampan wajah putranya.
Demikianlah pada masa
berikutnya sampai empat kali beliau mengandung hingga empatlah putra beliau
laki-laki semuanya berwajah tampan dan semuanya menguasai keutamaan Dharma.
“ TIMGA KRAH BHAWAPIYEM
MAMIYEM NUGRAHAKEM SRITAH MAMIYEM, DIRGGA YUSIYEM TAH SAPOTREM, WREDDIYEM
SANTANANGA NAMAH. PURPEM TAH KATEM MOTTAMIYEM, CATUR DEWAHTEM MIYAR SANAK,
STITAH GANGGA WANGI NGKOWA ANGGA TIRTHA, NAMO NAMAH, WISNAWAR DANEM DEWAH
STHITIYA SUNUYEM SUDWEM SUBALIYEM SAMUDREH, HANTAR SUNIYAH TENG SARIREM
TARJADMAH SERODANESTEM “
Adapun sebagai awalnya cerita, adalah penjelmaan empat
bersaudara, dimana dalam perjalanannya tetap melaksanakan yasa dan tapa,
masing-masing dengan gelarnya : yang tertua Sanghyang Angsana namanya, yang
sulung bernama Sanghyang Subali, yang pamade (tengah) Hyang Jaya Rembat, yang
pemeruju (nyoman) adalah bernama Sanghyang Makuning. Adapun Sanghyang Subali,
beliau beristana di Tohlangkir, beliau Sangyang Sekar Angsana beristana di
Gelgel (dasar), beliau Sanghyang Jaya Rembat di Kentel Gumi dan Sanghyang Makuning
di sebelah utara Gunung Abang istananya. Adapun Sanghyang Subali berkedudukan sebagai
Begawan, Sanghyang Jaya Rembat melakukan kegiatan sebagai seorang Dukuh
(dukun), Sanghyang Makuning sebagai seorang Wiku yang melaksanakan Wanasrama.
Adapun Sanghyang Sekar Angsana melakukan tugas sebagai Raja, dimana daerah
kekuasaan beliau semakin luas dan sangat bijaksana dalam mengatur pemerintahan
pulau Bali, dibantu oleh para patih dari
Para Hyang terutama yang bernama Sanghyang Naga Puspa, banyak lagi kalau diceritrakan
para patih baginda. Beberapa lama kemudian Hyang Subali keluar dari Tohlangkir
dan berkelana menyelusuri sungai Melangit dan terus menuju kearah Selatan.
“ TRAYEM PAH EKRAH, KEDULWAH JNANEM TARPPANEM
YOGENCAH, SIDHIYEM, STHA WENCO SAPTEM GONGGYEM WETTWA RUMYEM “.
Setibanya sekitar pertigaan dari sungai itu, disana lalu
Sahyang Subali beryoga, dengan penuh kekuatan yoga beliau, lalu tampaklah pada
tebing sinar bercahaya seperti bulan purnama, diiringi suara gemuruh lalu
mancurlah air dari tebing itu, sangat Harum baunya, semerbak meliputi alam
sekitarnya sampai penegalan, maka dari itu Sanghyang Subali memberi nama mata
air itu : “ TIRHA HARUM “ dan penegalannya bernama : “ TEGAL WANGI.“ Dari tanggal lima belas ketika bulan purnama
sasih kapat sampai sasih kelima tetap keadaannya harum. Lalu dibuatkanlah
pancuran, setelah itu kembalilah Sanghyang Subali ke Gunung Agung.
Setelah beberapa lama kemudian, setelah merasa puas Hyang
Subali melaksanakan tapa yasa, berkeinginanlah beliau ke Kentel Gumi, untuk
memberi tahu Hyang Jaya Rembat, setelah sampai di Kentel Gumi, Hyang Subali
lalu menyuruh adinda beliau Hyang Jaya Rembat memelihara pancuraran itu
baik-baik, yang diterima oleh beliau dengan senang hati. Setelah itu lalu Hyang
Subali moksah kembali ke alam sunyi. Setibanya di Samudra yang dilalui, lalu
beliau memuja Dewa Hyang Wisnu. Hyang Subali mohon seorang putra laki-laki,
sebegai keturunan beliau di Alam nyata. Dengan senang hati Dewa Wisnu
mengabulkan permohonan Hyang Subali, diberikan putra seorang laki-laki sebesar
ibu jari, yang diberi nama Angga Tirtha. Setelah menyembah lalu Hyang Subali
kembali menuju Tirtha Harum dan putranya diletakkan dihulu pancuran dan
kemudian moksalah Hyang Subali kembali ke kahyangan di alam baka.
“ SUKLEM MASEYAH
KARTTIKAH SUNUWAKEN ARI SAWICAH WREDDHEYEM SOMA WANGSA NGGANIYAH PURUSEM RANGGA
MADIYET. “
Pada saat hari bulan purnama sasih kapat dimana saat
dukuh Jaya Rembat datang ke Tirtha Harum, dilihatnya aliran air pancuran tiada
lancar, lalu dijujuginya saluran pancuran itu, diperiksa dihulunya, lalu
terlihatlah jabang bayi yang besarnya sebesar ibu jati, lalu diambilnya jabang
bayi itu dan ternyata dalam keadaan hidup dan tampan parasnya bersinar
gemerlapan wibawanya laksana bulan purnama, gembiralah hati Hyang Jaya Rembat,
lalu dibawanya ke hulu barat jurang diletakkan dibawah pohon kayu jati, dialasi
dengan daun kembang sepatu (Pucuk Bang) serta bunganya untuk menaunginya, lalu di
tinggal ke arah timur, menangislah bayi itu kena sinar matahari, kemudian datanglah
seekor kidang putih ketempat itu, melindungi serta memberikan susu kepada bayi
itu, lalu diamlah bayi itu tidak menangis lagi.
Kemudian Hyang Jaya Rembat setelah selesai mandi serta
bersembahyang pada Tuhan, sekitar jam :08 – 8.30 kembali beliau ketempat bayi
itu, dilihatnyalah disana seekor kidang, lalu kidang itu segera meninggalkan
sang bayi dan menghilang. Lalu Hyang Jaya Rembat berujar : “Seyogyanya
keturunan anak ini dikemudian hari tidak memangsa kidang karena dia telah
menolong dikala kepanasan“. Tak
berapa lama antaranya, terdengarlah sabda dari angkasa, oleh Hyang Subali :
EKO ARINGKU SIRAJI
REMBAT, RENGEN TATWAM IKANG RARE, ANAKKU PWIKANG RARE, PASUNG BHATARA WISNU
NGINI RING SAMUDRA, KUNANG ARANIA ANGGA TIRTHA, MANGKE KITA WEHANGKU,
REKALANIYA JEJAKA NGARAN TA YA I DEWA GEDE ANOM “.
Artinya : “ Duhai
adikku Aji Rembat, dengarkanlah asal usul anak ini, adalah putraku anak itu,
pemberian Bhatara Wisnu dulu di samudra. Yang diberi nama “ Angga Tirtha “.
Kini kuberikan padamu. Setelah dewasa nanti berilah nama dia I Dewa Gede Anom
“. Lalu moksalah Sanghyang Subali setelah bersabda demikian, gembiralah hati
Jaya Rembat, kemudian bayi itu dibawa
pulang ke purinya di Guliang, diupakara dengan upacara Ksatriya utama.
Setelah beberapa lama dibawahlah anak itu bertamasya
kesebuah Taman, yang terletak disebelah Barat Laut dari Puri Agung, karena
sangat indahnya Taman itu. Hentikan dulu ceritranya sampai disini.
Diceritrakan kini
mengenai Sri Sekar Angsana, yang menjadi Raja di Gelgel, ada lahir putranya
seorang wanita, telah diupakara dengan segenap upacaranya, Berselang lama
setelah menjelang dewasa putri itu, yaitu yang bernama : I Dewa Ayu Mas
Meketel, pada suatu hari ketika beliau jatuh sakit, teringatlah baginda pada
Sanghyang Jaya Rembat yang menjadi dukuh, dititahkan untuk memanggil beliau.
Sedatangnya di Gelgel, disuruhnya oleh Sri Sekar Angsana untuk mengobati putri
baginda. Setelah diobati akhirnya sembuhlah beliau.
Kembalilah Sang Aji Rembat ke Puri Agung Guliang.
Dikisahkan bahwa I Dewa Gede Anom kini telah dewasa pula umurnya. Tiada
berselang lama putri dari baginda Sri Sekar Angsana, yang telah dewasa, lagi
jatuh sakit, seperti sakit jiwa, tidak bisa disembuhkan oleh para dukun, kembali
dititahkan untuk memanggil Sang Aji Jaya Rembat untuk mengobati, namun tak bisa
sembuh sang putri, hingga menjadi was-was hati baginda Sri Sekar Angsana,
akhirnya putrinya diberikan diajak oleh Aji Jaya Rembat ke Tirtha Harum, disana
sehari-hari membersihkan diri (asuci laksana), setelah sebelas hari lamanya ada
disana sembuhlah beliau seperti sedia kala. Selama beliau ada disana,
pada hari purnama dan tilem tetap melaksanakan suci laksana, serta sembahyang
di Tirtha Harum, dengan diiringi oleh dayang-dayang dan abdi beliau semuanya.
Sang Aji Jaya Rembat selalu menjaganya tiada jauh dari tempat itu. Dengan
riangnya Sang Putri mandi, setelah selesai mandi dan berhias, lalu memetik
bunga, kemudian keluar serta duduk diatas sebuah batu sambil nginang (makan
sirih) hingga bibirnya merah laksana dianci, tak ubahnya bagaikan penjelmaan
Sanghyang Ratih diiringi widiadari turun ke Bumi Tirtha Harum, sedang Sang Jaya
Rembat seumpama Sanghyang Nerada. Setelah selesai semuanya, karena hari telah
siang maka lalu bersama-sama pulang menuju arah Barat, akhirnya tiba di Puri
Agung Guliang, tepat pada saat itu kebetulan I Dewa Gede Anom ada dihalaman,
hingga bertemu matalah keduanya, sehingga bangkit rasa cinta asmaranya,
akhirnya keduanya lalu madu kasih cinta, yaitu antara I Dewa Gede Anom dan I
Dewa Ayu Mas Maketel. Karena lama adanya demikian akhirnya diketahui oleh
dayang dan abdinya, hingga diiringilah beliau kembali ke istana Gelgel.
Berselang beberapa lama tampak I Dewa Ayu Mas Maketel
mengandung, diketahui oleh baginda Sri Sekar Angsana, lalu ditanyailah putri
baginda, siapa sebenarnya yang telah berani membuntinginya, lalu sang putri
berdatang sembah, serta mohon ampun kehadapan baginda ayahanda, serta
menghaturkan dengan terus terang mengenai asal usul kandungannya, karena beliau
telah mengadakan hubungan jasmani dengan anaknya Dukuh Jaya Rembat, yang
bernama I Dewa Gede Anom. Mengetahui hal demikian menjadi panaslah hati Sri
baginda raja, serta sangat murka lalu baginda menitahkan untuk memanggil semua
para patih, punggawa dan manca, setelah datang semuanya lalu baginda
menjelaskan seluk beluk permasalahannya dan memutuskan untuk membunuh Aji Jaya
Rembat dan I Dewa Gede Anom lalu diperintahkan untuk menangkap I Dewa Gede Anom
dan kalau telah ketemu supaya diikat erat-erat, karena sangat durhaka telah
berani berbuat tak senonoh, sampai putri baginda mengandung. Dengan serempak
para punggawa dan manca berdatang sembah, serta bersedia mempertaruhkan nyawa
demi membela kehendak baginda raja, lalu segera kentongan dibunyikan
bertalu-talu (bulus).
Setelah datang semuanya beserta prajurit, lalu serentak
berangkat semuanya, melalui hutan. Suara kibaran bendera-bendera bagaikan suara
petir menyamar, mengobarkan semangatnya semua, ada juga suara ringkikan kuda
dan gajah, bagaikan pecah rasanya bumi, oleh derap langkah semuanya, dan sikap
prajurit tak ubahnya bagi kita ibaratkan binatang melihat daging dikala sedang
lapar.
Tak berselang lama tibalah para prajurit di Guliang, lalu
Puri Agung segera di kurung, dan para komandan dengan prajurit lalu masuk
kedalam Puri, tiada dijumpai Hyang Jaya Rembat, seperti disulap semua orang
oleh Jaya Rembat, padahal beliau ada disana tetapi tidak dilihat oleh
orang-orang semuanya, karena keutamaan batin Aji Jaya Rembat. Juga I Dewa Gede
Anom tidak ada disana, lalu kembalilah semuanya menghadap baginda Raja, karena
yang dicari keduanya tidak ada di Puri. Ketika itu sebenarnya I Dewa Gede Anom
yang dikejar-kejar itu, sedang berada di hutan jarak bang berburu burung
perkutut. Dihutan itu ada juga kubu-kubu
petani, mendengar adanya suara kentongan bertalu-talu (bulus) I Dewa Gede Anom
bertanya kepada petani itu, ada apa sebenarnya suara kentongan geger? Lalu
orang petani itu menjawab dengan nada bagg (banggi) : “ kentongan dipukul
makanya berbunyi. Dengan jawaban dari petani itu maka I Dewa Gede Anom merasa
tersinggung, pada saat itulah I Dewa Gede Anom mengeluarkan kata-kata : “ Bila
kemudian hari hutan ini menjadi Desa, dan diberi nama Desa ini yaitu BANGLI,
senghingga sampai sekarang ini. Dalam pada itu ada orang-orang berdatangan
menanyakan siapa melihat I Dewa Gede Anom dan dimana dia berada. Akhirnya
tersebarlah berita, bahwa I Dewa Gede Anom sedang berada di hutan jarak bang,
berburu perkutut, lalu rakyat Gelgel datang bergulung-gulungan ketempat I Dewa
Gede Anom berada dengan senjata yang lengkap, bagaikan ombak memukul pantai
suaranya. Setelah tiba di hutan jarak bang, semuanya menyebar menyusupi hutan
tak ubahnya bagaikan serigala memburu singa di hutan Nandaka, demikianlah
ulahnya, akhirnya diketemukanlah I Dewa Gede Anom, semuanya saling berebutan
menangkapnya, lalu diikat erat-erat, lalu dibawa ke Gelgel, sesuai dengn
peritah baginda Raja. Ketika masih dalam perjalanan, diketahui oleh Hyang Jaya
Rembat, bahwa putranya telah diikat dan dibawa ke Gelgel, maka was-waslah hati
beliau, lalu segera beliau pergi ketempat dimana dahulu Hyang Subali turun
memberikan sabda tentang putra beliau, yang segera ditinggalkan moksa oleh
Hyang Subali. Dengan pemujaan Hyang Jaya Rembat itu, maka turunlah Hyang Subali
menampakkan diri serta berkata dengan lamban :“Duhai Aji Rembat apa sebenarnya
engkau mengundang Aku? “. Lalu berdatang sembah Aji Jaya Rembat, serta
memaklumkan, bahwa I Dewa Gede Anom telah ditangkap oleh rakyat baginda Raja Sri
Sekar Angsana dan di bawa ke Gelgel, jangan-jangan nanti di bunuh oleh baginda
Sri Sekar Angsana. Lalu bersabda Hyang Subali :” Oh Adikku janganlah engkau
khawatir, sekarang juga aku akan ke Gelgel. “ lalu segera beliau moksa.
Tinggalah Hyang Jaya Rembat sambil mengenang tempat itu, dimana Hyang Subali
turun, lalu diberi nama tempat itu “Tanggaling”, Ta-ngga-ling Ta berarti benar
(twi), angga berarti badan (meraga), ling berarti sabda (warah-warah) Hyang
Subali kepada Aji Jaya Rembat, seterusnya bernama Tanggaling sampai sekarang ini.
Selanjutnya setelah rakyat dan para prajurit tiba di Gelgel, dihaturkanlah I Dewa Gede Anom
kehahadapan baginda Raja, segera dititahkan
untuk membunuh I Dewa Gede Anom, dalam pada itu tiba-tiba turunlah Hyang
Subali dihadapan hyang baginda raja yaitu Sri Sekar Angsana, serta disaksikan
oleh seluruh rakyat, serta lalu bersabdalah Hyang Subali : “Uduh aum-aum aringku Sekar
Anggsana, haywa kita mjahi Sang Anom, pan sira tananayangku duga-duga, paweh Hyang
Wisnu nguni ri tlenging samudra, kalalanirang kaka mantuking suniyata, ndan iki
sunwaku wehi Sang Jaya Rembat, mangke karepku, yanawinarang sira Sang Anom lawan
anakta, apan sira amretiyaken ksatriya wangi dlaha tirisaning Wisnu anakku
Angga Tirtha.” Artinya : “ Duhai oh adikku Sekar Angsana, janganlah engkau membunuh I Dewa Anom, karena dia adalah
benar-benar anakku, pemberian dari Hyang Wisnu dahulu ditengah Samudra, pada
waktu kakak pulang kealam baka, kemudian kuserahkan kepada Sang Aji Rembat,
kini maksudku untuk mengawinkan I Dewa Gede Anom dengan anakmu, karena keduanya
akan menurunkan ksatriya Arum dikemudian hari titisan Wisnu anakku Angga
Tirtha.” Berdatang sembahlah baginda Sang Aji Sekar Angsana, serta akan
mentaati segala yang diwejangkan oleh Hyang Subali. Setelah selesai Hyang
Subali disembah, lalu moksalah beliau tanpa suatu halangan. Gembiralah baginda
Sri Sekar Angsana begitupula manca punggawa dan seluruh rakyat. Lalu
dikawinkanlah I Dewa Gede Anom dengan Dewa Ayu Mas Maketel, genap dengan
upacara perkawinan ksatriya utama, lalu dibuatkan Puri disebelah utara
bencingah.
Berselang beberapa waktu setelah cukup umur kandungannya
Dewa Ayu Mas Meketel, akan lahir kiranya bayinya, terdengarlah suara Guntur
gemuruh disertai cahaya kilat, alam gelap gulita, guruh menggema beralun
disertai hujan gerimis, bumi digetar oleh gempa, merupakan prabawa keturunan
Wisnu, dan semua merasa ketakutan. Adapun Dewa Ayu Mas Maketel pada waktu itu
diabin oleh I Dewa Gede Anom dan pada malam harinya dijaga pula oleh baginda
Sri Sekar Angsana. Bertanyalah lalu I Dewa Ayu Mas Maketel pada I Dewa Gede
Anom : “ Bagaimana bayinya, seperti rasanya telah lahir dari kandungan?” Dijawablah oleh I Dewa Gede Anom : “tidak ada
tampak bayinya.” Lagi Dewa Ayu Mas Maketel berucap: “ Setelah kuraba perutku,
rasanya telah kosong.”Lalu I Dewa Gede Anom ikut merabanya, ternyata juga telah
kosong didalam perutnya. Akhirnya timbul rasa khaawatir baginda Sri Skar
Angsana, karena tidak ada bayi yang tampak, sampai beliau Sri Sekar Angsana
mengucapkan kata berkaul : “ Jika nampak cucuku, akan kuuparakan selama tujuh
hari dan akan kusambut dengna kerbau tujuh ekor serta gong selengkapnya.”
Setelah demikian pada waktu tengah malam, tampaklah sinar bulan purnama dinatar
istana, wibawanya gemerlapan bagaikan kelap kelip bintang tampaknya, gembiralah
baginda Sri Skar Angsana dan begitu pula I Dewa Gede Anom. Kemudian lalu
diupakara dengan upacara Ksatriya Utama, selama tujuh hari diadakan keramaian
sebagai pembayaran kaul, lalu diberi nama I Dewa Anom Oka.
Kembali diceritakan adanya putra laki-laki dari baginda
Sri Sekar Angsana, telah dewasa dan sudah dianggap mampu untuk turun berperang
yang bernama Sri Jaya Simbar, namun dikalahkan wibawanya oleh I Dewa Gede Anom,
karena beliau benar-benar anugerah Hyang Wisnu, cakap beliau mengatur
pemerintahan serta membuat ketentraman Negara, tak pernah kehilangan pegangan
dalam mengayomi rakyat banyak, membuat para punggawa merasa tunduk semuanya,
kagum atas kebijaksanaan I Dewa Gede Anom, tidak demikian halnya dengan Sri Jaya
Simbar, namun tiada mengkhawatirkan baginda sri Sekar Angsana keadaan demikian
itu. Kemudian Sri Jaya Simbar mempunyai putra seorang wanita, diberi nama Dewa
Ayu Mas Dalem, yang kemudian dikawinkan dengan
I Dewa Gede Anom Oka, sesudahnya bersuami Istri. I Dewa Gede Anom Oka
diberikan kedudukan di bheresika (Nyalian) dengan diberikan sejumlah rakyat.
Daerahnya dari hulu sungai bubuh, sampai bagian selatan, dan daerah sebelah
utaranya sampai sekitarnya. Ada petunjuk dari kakek I Dewa Gede Anom Oka, kalau
beliau ingin mengambil istri lagi ada perbekel bernama I Wayan Ksatrya supaya
diambil anaknya, segala petunjuk kakeknya dipatuhi oleh I Dewa Gede Anom Oka,
kemudian berangkatlah beliau membangun istana dan sangat indah sekali istana
itu, tak ubahnya bagai istana Dwarawati, demikian pula I Dewa Gede Anom Oka
sangat bijaksana memegang pemerintahan. Sehingga benar-benar kerajaan beliau
dalam keadaan aman sentosa, karena beliau menghayati sastra Hutara Manawa dan
sastra Dresti serta setia wicana.
Beberapa
lama kemudian Sri Aji Sekar Angsana kembali ke alam sunyi karena telah lama
beliau berada dialam nyata ini. Demikian pula I Dewa Gede Anom tiada lama lagi
tinggal di Gelgel, dimana beliau telah maklum akan datangnya pergantian jaman,
lalu beliau pergi bersengkrama ke pantai, bagai nelayan ulah beliau, sampai di
tengah Samudra moksalah I Dewa Gede Anom kembali ke Wisnu Loka. Hanya seorang
nelayan yang mengetahui waktu beliau moksa, lalun segera dia kembali dan
menghaturkan hal itu kehadapan baginda Sri Jaya Simbar, menyebabkan beliau
sangat terkejut sampai baginda jatuh sakit, dan baginda moksa mengikuti
ayahnda. Hingga menjadi sunyi keadaan di Gelgel, serta dengan datangnya
perubahan pulau Bali, upaya dari Maha Patih Gajah Mada. Kerajaan Gelgel diminta
oleh Dalem Ketut Ngelesir dan penuh kerelaan diserahkan kepada Dalem, dan
bernamalah lalu dengan nama : “ SUWECA LINGARSA PURA.” Hentikan
ceritanya sampai disini.
Kembali diceritrakan I Dewa Gede Anom Oka yang
berkedudukan di Bhresika, baginda dalam keadaan tentram selama berkedudukan
disana.
“TRIYEM SUTAH
TOSDHAMPATIYEM, HULUNYA BANGLI PANWITAH, PAMKASNIYEM TAMAN BALIYEM, WURUJUH
TENGKEM “
Adapun permaisuri
baginda I Dewa Gede Anom Oka lalu mengandung dan beberapa lama berselang
lahirlah putranya laki-laki dengan wajah yang sangat tampan dan diberi nama I
Dewa Den Bencingah, apa sebabnya diberi nama demikian, karena dahulu I Dewa
Gede Anom Oka berpuri di utara Bencingahnya Gelgel. Kemudian ada lagi lahir
putra laki-laki lalu berparas sangat tampan, yang diberi nama I Dewa Gede
Gangga, apa sebab demikian Karena I Dewa Gede Anom Oka didapatkan di Tirtha Harum
oleh hyang Jaya Rembat. Berselang beberapa lama, lagi lahir seorang putra
laki-laki, berwajah tampan dan sempurna sera merupakan putra bungsu, bernama I
Dewa Gede Tangkeban dimana waktu itu kecilnya bernama I Dewa Garba Jata,
mengapa demikian, karena waktu dahulu semua orang di Gelgel tunduk oleh wibawa
I Dewa Gede Anom Oka, juga karena ayahnya lahir dahulu, dinaungi (karebin) oleh
sinar bulan purnama.
Kemudian
I Dewa Gede Anom Oka mengambil lagi istri di Nyalian anak dari orang yang
mempunyai kedudukan (Perbekel) bernama I Wayan Satriya. Kemudian mempunyai anak
laki-laki berparas tampan diberi nama I
Dewa Putu Oka, yang selanjutnya menurunkan satriya, tapi dibawah dari titel
ketiga putra yang dilahirkan oleh Dewa Ayu Mas Dalem. Pada waktu meninggal
kemudian boleh memakai bade tingkat tujuh, lengkap dengan seupakara ksatriya.
Apa sebab demikian karena ayahnya adalah titisan Wisnu, ibunya dari orang
biasa, kemudian lagi I Dewa Gede Anom Oka mengambil istri dari selatan jalan
dan barat selokan¸dan kemudian melahirkan dua orang anak laki-laki berparas
tampan diberi nama masing-masing Sang Rurung dan Sang Telabah, para sangiang
kedudukannya sampai selanjutnya. Pada waktu meninggal kemudian memakai bade
tingkat lima lengkap dengan upakaranya dan anak-anaknya itu kedudukannya
dibawah dari ketiga putra I Dewa Ayu Mas Dalem, juga dari anaknya I Wayan Satriya, demikian sejarahnya dahulu.
Diceritrakan
kini ke tiga putra dari Dewa Ayu Mas Dalem, sama-sama mempunyai hak menjadi
raja, dan sama-sama sudah pantas terjun kemedan perang, lalu baginda Raja I Dewa
Gede Anom Oka bersabda kepada para
putranya : I Dewa Gede Den Bencingah : “ Duhai putraku, engkau yang tertua,
kuperintahkan kini untuk membangun istana, tiada lain di hutan jarak bang,
dahulu kakekmu berburu burung perkutut disana, kemudian bila telah menjadi
suatu daerah berikanlah nama BANGLI dan engkau menjadi Raja, wilayahmu yakni
disebelah barat sungai melangit, himpunlah rakyat sampai barat Laut dan Timur
keutara sampai daerah pegunungan. Ada juga pesan ayahda kepada anada,
dirikanlah perhyangan bagi setana para Dewa istana untuk betara Tirtha Harum.
Adapun bentuk periangan: Meru tingkat sebelas, tingkat Sembilan dan tingkat
tujuh dan istana Bhatara Tirtha Harum adalah gedong. Upacara piodalannya adalah
pada hari purnama sasih karo (Agustus-September)
dengan sarana persembahan kerbau, Pulekerti dari rakyat dan sekeha Teruna,
mengaturkan Dangsil dan Jerimpen masing-masing. Perbekel semuanya menghaturkan
daksina beserta uang sesantun 192 kepeng dan langsung dipersembahkan kepada Ida
Betara. Pada Catur Dasi sukla
(…………........................................................) kerbau dibawa
mengelilingi tiga kali dengan kekiri dan pada panca Dasi sukla (…………………………………)
kerbaunya lalu disembelih, palakiwenya (pahakirinya ) diberi kain kotak-kotak
(poleng), diletakkan diatas jempana (usungan), setelah selesai membuat olahan lalu
kepala Desa menyuarakan teteg Agung (kentongan) yadnya dilaksanakan sesuai tata
upacara : Pala kiwa dan pulekerti dibawa mengelilingi pura tiga kali arah kiri
serta diiringi jerimpen yaitu : Jerimpen dari Perbekel, Jerimpen sekeha Teruna
disertai tetabuhan tuak berem, kemudian kembali masuk ke Pura, Pendeta Siwa
Budha mepuja, mastungkara kehadapan Hyang Mahulun (Tuhan) selesailah sampai
sekian. Besoknya para punggawa mempersembahkan daksina, tapakan serta uang
kepeng, seluruhnya dipersembahkan kehadapan Ida Betara, lalu punggawa
bersembabahyang dengan bunga dua kali, kwangi satu kali, kwanginya dengan uang
kepeng sebanyak sebelas kepeng, setelah itu para punggawa sambil membawa
salaran dan masekerura, selesailah persembahyangan para punggawa. Berselang
tiga hari setelah karya hendakah ananda memerintahkan rakyat semuanya,
menghaturkan sajen canang, serta membawa sibuh (tempat air dari batok kelapa)
lalu bersembahyang. Kemudian aturlah anakku, kepada rakyat seluruhnya diberikan
beras dari pulekerti serta tirta kekuluh. Beritahukanlah bahwa beras pulekerti
itu sampai mereka di rumah supaya dibuat bubur, lalu ditempatkan pada takir dan
ditambah dengan air cendana. Setelah itu supaya di bawa ke sawah masing-masing
dan diaturkan dipengalapan dengan disirat tirta kekuluh. Doanya adalah :
“SINGGIH BHATARA GEDE TOYA MAS ARUM
IRATU MICAYANG PENGELANUS ASING TANDUR TITIANG MANDA BECIK MUPU.” Kepada para
punggawa semuanya diberitahukan supaya juga membuat perhyangan, gedongtingkat
tiga, tingkat satu dan piodalannya pada bulan purnama sasih kewelu, demikianlah
wejangan baginda ayahnda kepada I Dewa Den Bencingah, lalu beliau mohon pamit
kehadapan baginda ayahnda, serta berangkat
menuju hutan jarak bang. Hentikan sampai disini cerita mengenai I Dewa Den
Bencingah.
Kemudian
I Dewa Gede Anom Oka memberi wejangan kepada putra baginda I Dewa
Gede Gangga, bagaimana perintah baginda :”duhai oh anakku, kini kuperintahkan
engkau untuk membangun kerajaan, disebelah Barat Laut Tirtha Harum, dan diberi
nama Tamanbali. Apa sebab demikian dulu Hyang Jaya Rembat berasrama disana, dan
membuat pula Taman yang sangat indah, bagaikan Taman Indraloka, ialah Taman
Narmada. Ada pula pesanku pada ananda, kemudian agar kamu membangun di Tirta Harum,
membuat bangunan berupa gedong dari bata merah, berisi pancuran, dan saluran
air stana Hyang Sesangka karena dahulu ketika ayah lahir dari kandungan
dinaungi oleh sinarbulan purnama. Kemudian bila engkau ingin mempunyai istri,
ada perbekel dari Kusiman Badung, mintalah anaknya sebagai istrimu. Demikian
wejangan Sri Baginda ayahanda kepada I Dewa Gede Gangga dan beliau tunduk pada
semua perintah ayahanda lalu beliau berangkat. Hentikan sampai disini cerita
yang ada di Tamanbali.
Kemudian
I Dewa Gede Tangkeban, diberi pula
wejangan oleh baginda ayahanda, diperintahkan kepadanya untuk menggantikan Baginda
sebagai Raja di Bhresika apa kiranya yang menyebabkan demikian, karena baginda lelah
merasa lelah menjadi Raja. Apa pula perintah baginda supaya anaknya taat
memelihara Pemerajan¸ karena merupakan Stana Bhetara Toya Mas Arum, serta
perhyangan Dewa, meru tingkat sebelas, tingkat sembilan dan tingkat tujuh. Piodalannya
pada bulan purnama Sasih Kasa, dengan memakai kerbau dan pulekerti, juga dan
jerimpen yang dihaturkan oleh rakyat sebanyak empat puluh buah, salaran dan
tapakan serta daksina dengan uang seratus
dua puluh kepeng. Pada umanis piodalan, semua kelian banjar, menghaturkan sajen
canang dan membawa sibuh. Pesembayangan dengan bunga kuning, bunga putih.
Kemudian kwangi dengan berisi uang sebelas kepeng. Setelah selesai
persembahyangan lalu pulakertinya dibawa keluar disertai rarapan, daksina dan
canang sari, dibawa mengitari Pura tiga kali, terus mesekerura uang,
selanjutnya kembali ke Pura. Pulekertinya lalu dibongkar dan berasnya
dibagi-bagikan kepada seluruh rakyat dan beritahu supaya dinyanyah disanggahnya
masing-masing, dibagikan tirta kekuluh. Beras pulekeri yang sudah matang lalu
ditempatkan pada ceper dari janur, diisi canang pengrawos, lalu beserta tirta
kekuluh dibawa kesawah masing-masing diaturkan ditempat pengalapan, dengan doa
: “Dewa ratu Bhatara Wisnu, titiang ngaturang canang, titiang nunas pengelanus
ring iratu.” Lalu disirat dengan tirta kekuluh. Bersujudlah lalu putra baginda
menghaturkan sembah bakti terhadap segala petunjuk baginda ayahanda. Hentilah
sampai disini ceritanya.
Dalam
beberapa waktu lamanya karena usia lanjut, lalu moksalah I Dewa Gede Anom
Oka kembali kealam baka kembali diceritakan I Dewa Gede Anom Oka,
beliau juga bergelar I Dewa Gede Tangkeban, begitu juga ayahandanya I Dewa Gede
Anom. Itulah sebabnya putra baginda I Dewa Gede Anom Oka bernama -sama I Dewa
Gede Tangkeban juga. Demilian juga karena lahir dari turunan Nagapuspa, maka
aman sentosa kerajaan baginda. Lebih-lebih karena I Dewa Gede Anom Oka tiada
pernah lupa untuk menghadap Dalem Ketut di sueca Linggarsa Pura, demikian pula
ayahanda beliau yaitu I Dewa Gede Anom amat setia pada Dalem Sri Sekar Angsana,
sampai diberi istri tiada lain yang bernama Dewa Ayu Mas Maketel menyebabkan
bagaikan gunung bakti baginda terhadapa Dalem. Begitu pula atas pemberian senjata
yang berupa keris yang bernama Ki Lobar kepada baginda I Dewa Gede Anom Oka,
sebagai penjaga keselamatan Jiwa baginda, menyebabkan baginda I Dewa Gede
Tangkeban untuk kedua kalinya beliau tak berani luput untuk mengabdi kehadapan
Dalem Ketut Ngelesir, hingga tak ubahnya bagaikan gunung dengan samudra
kekeluargaan kedua baginda itu. Dari hal-hal tersebut berapa kiranya besar
hutang budhi baginda I Dewa Gede Tangkeban, ditambah lagi dengan begitu besar
perhatian dan kecintaan Dalem terhadap baginda, mengkibatkan beliau merasa
khawatir bila kemudian mempunyai keturunan tiada dapat membelanya, demikian
juga tidak bisa membela Dalem dikala ada musuh. Lalu timbullah niat baginda
untuk memuja leluhur, tiada lain Hyang Subali yang merupakan klab baginda. Kemudian
pada hari baik lalu baginda I Dewa Gede Tangkeban pergi ke tirtha Harum, disana
beliau mandi. Setelah itu lalu pergi kehulu menuju pohon kayu Jati Agung,
dimana dahulu Hyang Jaya Rembat memuja Hyang Subali, pada waktu hari selasa
keliwon (anggar kasih). Sesampai di tempat
itu, I Dewa Gede Tangkeban mengenakan kampuh kuning, dan memuja hyang
Subali, dengan tertib dan ketekunan beliau melaksanakan pemujaan. Beberapa
saat, keadaan menjadi hening sunyi, beliau merasa tiada berada di Dunia nyata
seolah-olah ada dalam kosong, pada saat itu tepat tengah malam tampaklah
seperti bulan mendekat pada beliau, dan
didalam bulan itu tampak sekejap seorang laki-laki memakai kampuh poleng serta
ditelinga tersunting bunga Pucuk Bang. Terus ditatap oleh baginda I Dewa Gede
Tangkeban, lalu segera menghilang, lalu berganti dengan terdengar sabda dari
angkasa :”Kukabulkan kehendakmu dan aku tahu semua cita-citamu“ lalu lenyap.
Gembiralah hati I Dewa Gede Tangkeban, serta dinamailah tempat itu “Dalem
Tinggaling apa sebab demikian¸ dalem berarti di dalam, tinggal berarti kelihatan,
ling berarti Sabda. Di dalam bulan sekejap kelihatan yang dipuja, lalu
berganti dengan sabda setelah hari pagi lalu kembalilah baginda I Dewa Gede
Tangkeban pulang ke bhresika. Berselang beberapa lama dari pada itu, kemudian
mengandunglah permaisuri baginda, yang dari Dalem Ketut dan setelah cukup umur yang ada dalam
kandungan, pada saat sampai lahir lalu ada api meluncur dari angkasa jatuh ke
Puri Sri baginda raja, lalu hilang tak nampak lagi, berganti dengan suara
gemuruh disertai hujan rintik-rintik dan keesokan harinya lahirlah bayi seorang
laki-laki sangat tampan dan berwibawa. Pada telapak tangan kanannya tampak
gambar cakra, dan setelah diketahui oleh baginda ayahandanya, sangat berahagialah
hati baginda lalu beliau teringat pada waktu memuja dulu, sadarlah beliau bahwa
telah terkabul cita-citanya lalu dibuatkan upacara sesuai upacara putra raja,
dan sentosalah bayi itu selanjutnya serta diberi nama I Dewa Gede Agung Cakra.
Beberapa lama kemudian setelah mencapai usia dewasa lalu diberikan nasehat oleh
baginda, agar putranya jangan sampai berani menentang Dalem Ketut di Gelgel. Apa
sebab demikian, karena begitu besar kasih Dalem. Kalau melanggar dikutuk supaya
Negara di gunung dikalahkan Karangasem, juga kacau sewaktu-waktu. Begitu pula
jangan sampai lupa memperbaiki segala yang rusak di Puri Gelel. “Ananda junjung
segala nasehat paduka ayahnda”, sembah I
Dewa Gede Agung Cakra. Gembiralah hati Sri Baginda mendengar atur
putranya, ditambah lagi harus menghayati Weda Wedastra, sesuai dengan yang
telah dimiliki oleh Baginda ayahda, hingga gembiralah hati I Dewa Gede Agung
Cakra, tak pernah luput beliau melaksanakan tapa brata, teguh cita-citanya
bagaikan gunung baik budhinya bagaikan Krisna.
Setelah
beberapa lama antaranya, Sri Baginda ayahanda telah usia lanjut, lalu I Dewa
Gede Agung Cakra dinobatkan menggantikan baginda ayahda, menjadi Raja di
Nyalian. Lalu bagaimana keadaan Kerajaan semenjak beliau duduk sebagai Raja,
makin tentramlah rakyat di Nyalian, Karena semuanya melaksanakan dharma, hilang
kebatilan, dan kedurjanaan. Bijaksana kepemimpinan Sri Baginda, lagi
pula satia wecana (urit wsi ujar lung pisan), aman tentramlah keadaan Negara,
benar-benar merupakan penjelmaan Wisnu turun ke Dunia ini.
Pada
suatu ketika masa baginda menjadi Raja di Bhresika, apa kiranya latar
belakangnya dirampaslah daerah kekuasaan Dalem oleh Karangasem kiranya akan
mendirikan kerajaan di Tegalinggah. Diketahui oleh I Dewa Gede Agung Cakra
halnya demikian, segera baginda bersama pasukan menggempur kesana, dan dalam
waktu singkat musnah musuhnya, sisa dari yang mati lari tunggang langgang
ketakutan, kembali pulang. Setelah habis musuhnya kembalilah beliau menghadap
Dalem, memaklumkan bahwa musuh telah digempur dan dikalahkan, menyebabkan hati
Dalem amat gembira, dan dirasakan betapa besar bakti I Dewa Gede Agung Cakra
terhadap baginda. Tiada dicertitakan betapa kebahagiaan baginda keduanya. Lalu
kembalilah I Dewa Gede Agung Cakra setelah menghadap Dalem, dan aman tentramlah
kedua kerajaan itu.
Kemudian
diceritrakan pula yang menjadi Raja di Bangli, aman tentram pemerintahan beliau
bagai gunung kekokohan jiwa beliau, dan setia wecana. Berselang beberapa lama
Baginda I Dewa Gede Den Bencingah bertahta menjadi Raja, ada putra baginda yang
lahir dari permaisuri bernama beliau sama dengan nama baginda ayahanda, karena tidak suka
memakai nama lain, untuk menjadi peringatan adanya Puri Leluhur dulu disebelah
utara bencingah Gelgel.
Kini
diceritrakan yang bertahta di Tamanbali, sempurna keadaan kerajaan, berkat
pemerintahan Sri Aji (I Dewa Gede Gangga), aman tentram dan makmur keadaan
rakyat. Berselang beberapa lama seorang
putra dari permaisuri diberi nama I Dewa
Gede Ngurah, tampan parasnya dan berwibawa, kemudian beliau yang menjadi Raja
di Tamanbali melanjutkan keturunan leluhurnya. Adalah merupakan inti (tatwa)
cerita, dimana bertahtahnya ketiga Raja, yaitu Bangli, Tamanbali, Nyalian, tak
ubahnya “TRISAKTI” yang bertahta di Kerajaan, aman tentramlah ketiga kerajaan
waktu itu.
Pada
masa baginda Sri Aji yang telah berusia lanjut, tersebar kemasyuran beliau, ialah
pada tahun caka ; manah sakti matanikang kuda…..Rsi Swanita….Sirsa karang
buja……pada sasih kedasa bulan purnama menambah cerita leluhur yang telah
kembali kealam baka serta tertulis pada papan (lontar) pratisentana (keturunan)
dari putra panawing dan pengarep yang merupakan sejarah (babad) dari keturunan
masing-masing kemudian perhatikan ceritranya baik-baik semua.
Kemudian
dilanjutkan kembali menceritrakan I Dewa Gede Agung Cakra, ada putranya dua
orang, bernama I Dewa Gede Rai dan adiknya I Dewa Gede Raka keduanya putra
mahkota, ibunya adalah putra Dalem. Beberapa lama telah dewasa kedua putra itu
dan diantara kedua putra mahkota itu ada yang bebed (tanda hitam melingkar)
pada pahanya dikanan, tidak diketahui oleh baginda ayahanda, hanya berita yang
beliau dengar. Kedua putra itu kini sudah pada dewasa dan sudah pantas
menyandang keris, sarungnya dicat warna emas (perada), lalu ditanya oleh
baginda. “Eh engkau Gede Rai, siapa yang membuat sarung keris yang bagus itu,
dan sangat asri caranya memberi warna.” Lalu dijelaskan oleh putra baginda, bahwa yang membuat sarungnya I
Meranggi dan yang mewarnai adalah I Sangging. Diam baginda sebentar, kemudian
bertanya lagi “ Eh engkau Gede Rai, apakah pahamu bebed? “ Ayah ingin tahu
tanda itu. Serta merta lalu I Dewa Gede Rai menaikkan kakinya hingga kelihatan
kedua pahanya dan dilihat oleh baginda ternyata tidak ada tanda itu.
Lalu
ditanya I Dewa Gede Raka; Eh engkau Gede Raka anakku, ayah ingin tahu tanda
itu. “Lalu I Dewa Gede Raka menjawab disertai sembah bakti mohon ampun agar
tidak terkena kutuk. Lalu I Dewa Gede Raka mengambil pengutik (pisau) dari
tempat sirih, serta dibedel kain dan kampuhnya dengan pisau itu, melalui bedel
itu memperlihatkan pahanya kehadapan ayahandanya dan ternyata terlihat benar
bebed pahanya sebelah kanan, akhirnya marahlah baginda I Dewa Gede Agung Cakra
terhadap I Dewa Gede Rai, serta beliau bersabda : “ Eh engaku Gede Rai, karena
keangkuhanmu terhadapku, berkata tak sopan dan tak mengenal tata susila, itulah
sebabnya mulai hari ini, tak boleh engkau berbahasa sama dengan putraku Gede
Raka, surut pula wangsamu, ditetapkan menjadi Pungakan saat ini.
Engkau
Gede Raka, berhak menggantikan ayahanda menjadi raja, dan berganti nama engkau
kini I Dewa Gede Bebed namamu kini. Lalu matur sembahlah kedua putra baginda
serta menjunjung sembahnya. Berselang lama, karena sudah sangat lanjut usianya.
I Dewa Gede Agung Cakra, bersabdalah kepada I Dewa Gede Bebed, bahwa beliau akan kembali kealam baka dengan moksa
(tanpa ada jenasah), bahwa beliau merasa terhambat bila melalui jalan
pembakaran jenasah (Pelebon). Lalu berdatang sembahlah I Dewa Gede Bebed, bahwa
beliau mengabulkan permohonan putranya. Akhirnya wafatlah I Dewa Gede Agung
Cakra, lalu diupakaran secara lengkap upacaranya sampai pengukuran. Lalu I Dewa
Gede Bebed dinobatkan menjadi raja, bertahta di Nyalian menggantikan baginda
ayahanda, sama kebijaksanaan baginda seperti
baginda ayahanda, dalam memegang pemerintahan Negara, demikian pula
hormatnya terhadap Dalem di Gelgel.
Kemudian
ada putra baginda lahir dari permaisuri, bernama I Dewa Gede Tangkeban (Cokorda
Tangkeban). Banyak pula putra penawingnya tidak diceritakan dalam lontar, namun
ada I Dewa Nguwi tinggal di Blingbing, I Dewa Anom Rendang tinggal di Rendang, I
Dewa Gede Dangin tinggal di Sidemen, I Dewa Ngurah di Alangsanja, I Dewa Pering
di Nyanggelan, I Dewa Rai Siman di Banjarangkan, I Dewa Gede Korian di Tusan.
Berselang beberapa lama, wafatlah I Dewa Gede Bebed, lalu putranya menggantikan
menjadi raja di Nyalian dengan gelar I Dewa Gede Tangkeban, tetap tak lalai
dalam melaksanakan pemerintahan Negara, juga hormatnya pada Dalem di Gelgel.
Baginda I Dewa Gede Tangkeban ada permaisurinya keturunan Dalem di Sukawati,
itulah yang melahirkan putra laki-laki yang bernama I Dewa Gede Oka Sudira, ada
pula putranya wanita, sangat cantik parasnya, laksana Dewi Ratih menjelma, mengadakan
hubungan cinta dengan I Dewa Manggis di Gianyar, menyebabkan I Dewa Manggis
sering datang ke Nyalian.
Kembali
kini diceritrakan beliau yang bertahta
di Bangli yang tetap bernama I Dewa Gede
Den Bencingah, keadaan Negara aman sentosa karena baginda taat melaksanakan
ajaran dharma. Banyak putra baginda baik dari permaisuri maupun garwa patni.
Pada suatu waktu karena tibanya keadaan pancaroba, atau kali senggara, dengan
tidak terduga pasukan raja Karangasem menyerang kerajaan Bangli, karena dulu
gagal meluaskan daerahnya ketegalinggah yaitu wilayah Dalem. Tidak banyak
diceritrakan betapa ramainya peperangan, karena Bangli tidak siap berperang,
maka dengan mudah prajurit Karangasem mendesak dan mengalahkan pasukan Bangli,
serta Puri lalu dikepung. Dalam keadaan demikian, maka baginda I Dewa Gede Den
Bencingah langsung keluar menghadapi musuh, sampai di kori Agung terjadilah perang
sengit habis-habisan, akhirnya beliau meletakkan tombak serta memuja, lalu
dengan serempak prajurit Karngasem menembakkan senjatanya, akhirnya I Dewa Gede
Den Bencingah gugur di tengah kori Agung. Habislah tewas putra-putra baginda
baik dari pengarep maupun dari penawing, ada yang masih teringgal yaitu yang
menurunkan I Dewa Rai Tangi, I Dewa
Banyak Weda dan I Dewa Kliki di Penida.
Akhirnya I Gusti Praupan masuk ke Puri
bersama rakyat Karangasem, didapati di Puri dalam keadaan kosong. Pada waktu
puputan I Dewa Gede Den Bencingah, ada
putranya baginda yang belum berumur satu bulan tujuh hari, oleh dayang-dayang
disembunyikan dalam bakul dan dilarikan ke Badung. Akhirnya di Bangli, I Gusti
Peraupan memegang pemerintahan dengan kedudukan sebagai manca dari baginda raja
Karangasem.
Kemudian
diceritrakan I Dewa Gede Ngurah yang bertahta di Tamanbali amat berbahagia
beliau menjadi raja, kerena Negara aman tentram, karena baginda raja selalu memikirkan kepentingan
dan kesejahtraan rakyat. Baginda mempunyai putra-puutri yang tampan dan
berwibawa, bernama I Dewa Gede Anom Garba, setelah dewasa beliaulah dinobatkan
menjadi raja Tamambali tak beda kebijaksanaannya dengan baginda ayahanda,
Baginda I Dewa Gede Anom Garbe mempunyai putra dari permaisuri, bernama I Dewa
Gede Oka dan setelah dewasa belaiau menggantikan ayahanda sebagai raja Tamanbali.
Kembali
diceritrakan mengenai putra I Dewa Gede Den Bencingah yang dibawa ke Badung,
diserahkan kepada raja Badung, setelah genap berusia empat setengah tahun, lalu
diminta oleh I Dewa Manggis, lalu keluar berjajan-jalan disepanjang jalan
sambil mencari jangkrik, ada orang minta air ludahnya, dipakai mengobati orang
sakit, segera bisa sembuh orang yang sakit itu. Lalu banyak orang minta air ludahnya untuk obat, tiap hari beliau
berlaku demikian, pada suatu waktu ada orang dari besakih menjual keris,
disuruhnya anak itu untuk melihatnya, lalu beliau segera mau membeli,
diterimanya keris itu, dibawa pulang ke Puri, sampai di Puri lalu minta uang
pada ibunya sebanyak seratus dua puluh kima (125) kepeng, lalu keluar lagi anak
itu untuk membayar pembeli keris itu, lalu tidak dijumpai orang itu, yaitu yang
menjual keris itu, akhirnya keris itu tetap dibawa untuk mencari jangkrik. Mula-mula
keris itu pendek dan kecil makin besar anak itu makin besar pula keris itu.
Lama anak itu di Gianyar setelah beliau dewasa, sudah pantas untuk turun
berperang, keris itu di dipakai sebagai
senjata pengaman (sesungklit) beliau, diberi nama keris itu I Besakih. Dengan
upaya I Dewa Manggis, agar anak itu mau kembali ke Bangli, setelah cukup
bijaksana. Baginda membuat muslihat, lalu dititahkan anak itu pulang ke Bangli,
dengan diiringi rakyat lengkap dengan senjata, berjalan melalui Tegalalang Gianyar,
didengar oleh rakyat di gunung semuanya, seperti Bayung, Bonyoh, Pengotan dan
lain-lainnya lagi, bahwa putra kerajan Bangli kembali lagi, segera mereka
berangkat dengan senjata menjemput putra mahkota serta kompak semuanya
menghendaki untuk memerangi I Gusti Praupan. Setibanya putra itu di gunung,
didengar oleh orang-orang di kota, demikian pula lain-lainnya semuanya kompak
ingin bertemu dengan putra mahkota.berbarengan dengan itu datang pula prajurit
Tamanbali untuk memerangi I Gusti Praupan, mengetahui halnya demikian segera I
Gusti Praupan siap siaga untuk berperang. Akhirnya putra mahkota bersama-sama
selurauh rakyat gunung bergerak ke selatan amat ramainya sorak-sorai, sedang
dari selatan datang pula prajurit Tamanbali, maka terjepitlah I Gusti Praupan
di kota. Perang terjadi hanya sebentar, pasukan I Gusti Praupan kewalahan
menghadapinya, lalu beliau lari tunggang langgang menuju Karangasem bersama I
Gusti Pemamoran. Akhirnya I Gusti Praupan dan I Gusti Pamoran meninggal karena
sakit. I Gusti Dauh Baleagung mohon ampun dan menyerahkan diri. Kembalilah
putra mahkota ke Puri Bangli, rakyat amat bergembira semuanya. Kemudian beliau
dinobatkan menjadi raja dengan gelar I Dewa Agung Sakti, beliau bisa nampak dan
hilang, bisa mengetahui hal yang jauh dan dekat, bisa mengetahui keadaan yang
akan datang dan kini dengan kesaktian dan kekuatan batin baginda. I Gusti Dauh
Baleagung yang menyerah, diberikan tempat di Tegal dan mendapat tugas mengemong
Pura Dalem Lagaan. Kembalilah lagi ketigakalinya baginda raja Bangli,
Tamanbali, Nyalian menemukan kebahagiaan aman sentosa. Diceritrakan kini
baginda raja di Nyalian yaitu I Dewa Gede Tangkeban dapat nyambut sebuah keris
baru calon dibalai alit (Pengaruman) di Pura Penataran dimana mulanya beliau
melihat api, lalu diambilnya didapatlah sebuah keris yang baru pepalonan itu.
Kemudian oleh baginda di sempurnakan hingga merupakan keris berlekuk tiga, lalu
dinamai keris itu I Luk Telu. Setelah diupacara pasupati, lalu di tempatkan
dihuluannya keris I Lobar. Kemudian pada waktu tengah malam di dengar kedua
keris itu bercakap-cakap. Siapa gerangan berani tinggal di hulunya Ki Lobar.
Aku I Luk Telu. Betapa kesaktiannya I Luk Telu sampai berani tinggal dihuluan
Ki Lobar. Bagai apa kesaktian Ki Lobar, katakan padaku. Kesaktian Ki Lobar, bayangannya
saja ditusuk, hancur lebur orang yang mempunyai bayangan itu. Kesaktiannya I
Luk Telu, biar sehelai daun kelor bumi tempat berpijak, tak akan terkalahkan
oleh musuh. Karena demikian percakapan
ke dua keris itu, lalu I Luk Telu
diambil oleh baginda Raja Nyalian dan diletakkan sejajar dengan Ki Lobar.
Diketahui halnya demikian oleh I Dewa Agung Sakti, baginda raja Bangli
dimintaalah keris itu untuk dibeli seharga dua ribu (laksa), tiada
diperkenankan oleh baginda Nyalian untuk membelinya, namun diberikan dengan cuma-cuma
keris itu kepada baginda Raja Bangli. Namun demikian uangnya tetap dihaturkan,
dan diletakkan dipengaruman Pura Penataran. Beberapa lama gembira dan bahagia I
Dewa Agung Sakti bertahta sebagai Raja Bangli, pada suatu waktu diundanglah
baginda oleh I Dewa Manggis di Gianyar, sedatangnya di Gianyar lalu dicobanya I
Dewa Agung Sakti, karena I Dewa Manggis
mendengar kabar bahwa baginda sangat tersohor sakti. Lalu I Dewa Manggis
mengutus seseorang mohon ayam jago ke Bangli, supaya ada I Dewa Agung Sakti di
Bangli menyerahkan ayam pada utusan, namun I Dewa Agung sakti tidak boleh
bergeser dari tempat I Dewa Manggis. Setelah utusan datang dari Bangli,
ternyata apa yang dikehendaki oleh I Dewa Manggis dapat terpenuhi.
Setelah
kembali I Dewa Agung Sakti ke Bangli, maka keadaan baginda aman sentosa, silih asih
beliau dengan baginda raja Gianyar karena beliau ingat dijadikan anak waktu
kecil dulu. Beliau I Dewa Agung Sakti mempunyai putra laki-laki penawing
bernama I Dewa Anom Mayun ada pula
putranya wanita dari permaisuri bernama I Dewa Ayu Den Bencingah.
Kembali
diceritrakan baginda raja yang bertahta di Nyalian, yaitu I Dewa Gede
Tangkeban, karena datangnya kalisenggara
(pancaroba) berawal dari timbul niatnya I Dewa
Manggis di Gianyar, mohon untntuk meminjam keris Ki Lobar kehadapan Dalem
alasannya untuk meniru keris itu. Dimohon baginda Dalem untuk meminjamkan
kepada I Dewa Tangkeban di Nyalian. I Dewa Manggis juga memaklumkan pada
baginda raja Nyalian, bahwa ada kehendak Dalem untuk memita keris Ki Lobar,
karena memang merupakan warisan Dalem untuk menaklukkan para penghianat. Itulah
kiranya menyebabkan Dalem akan meminta Keris Ki Lobar untuk ditaruh di Suaca
Linggarsapura.
Setelah
I Dewa Manggis berkata demikian tak berselang lama datanglah utusan dari Dalem
serta membawa surat dimana dalam surat
itu tercantum maksud Dalem untuk
meminjam Keris Ki Lobar, akhirnya di jawab oleh baginda raja Nyalian, bahwa
beliau belum bisa menghaturkan karena beliau
masih merundingkan dengan baginda raja Bangli maupun Tamanbali, dititahkan
utusan itu untuk kembali. Tak diceritrakan selama dalam perjalanan setelah tiba
di Gelgel lalu dihaturkan kehadapan beliau, semua hal yang dikatakan oleh I
Dewa Gede Tangkeban. Pada waktu itu juga hadir permaisuri baginda.
Kemudian I Dewa Gede Tangkeban lalu
mengundang I Dewa Agung Sakti dan I Dewa Gede Oka, yaitu raja Bangli dan
Tamanbali, untuk datang ke Nyalian. Setelah hadir kedua baginda raja, yaitu Bangli
dan Tamanbali, lalu baginda raja I Dewa Gede
Tangkeban menjelaskan isi surat dari baginda Dalem. Akhirnya baginda raja
Bangli dan Tamanbali bertekad sama, apapun yang terjadi akan siap menghadapi,
dengan janji teguh baginda berdua, pokoknya jangan dihaturkan keris Ki Lobar.
Karena merupakan penjaga nyawa, dan setuju pula baginda I Dewa Gede Tangkeban
terhadap tekad baginda Raja Bangli dan Tamanbali. Maka dibuatlah perjanjian
dengan sangsi agni bulat dan teguh tekad baginda raja ketiganya dan bersedia
menghadapi kemarahan Dalem, dan bagi yang melanggar dikemudiannya, supaya
keturunannya menjadi hamba dari pemegang keris (Nyalian). Setelah mufakat
dengan perjanjian di Nyalian itu lalu kembalilah baginda raja Bangli dan
Tamanbali.
Berselang
lama, teringat kembali Dalem apa yang dihaturkan utusan, yaitu yang merupakan
jawaban I Dewa Gede Tangkeban, karena belum juga menghaturkan Keris Ki Lobar,
maka lagi Dalem mengirim utusan untuk meminta keris Ki Lobar karena Dalem
menghendakinya. Lalu baginda I Dewa Gede Tangkeban menjelaskan kepada utusan,
bahwa telah menjadi keputusan perjanjian, Keris Ki Lobar tidak akan dihaturkan
walaupun berperang kehendak Dalem, I Dewa Gede Tangkeban bersedia menghadapi
dimana saja kehendak Dalem, baik di laut maupun di gunung, karena keris Ki
Lobar telah diserahkan ke pada leluhur baginda dahulu kala.
Karena
demikian halnya, lalu kembalilah utusan itu ke Gelgel, dan setelah tiba,
dihaturkan kehadapan Dalem segera apa yang dinyatakan oleh I Dewa GedeTangkeban.
Mengetahui hal demikian, bangkitlah amarah Dalem, segera beliau memerintahkan
angkatan perangnya untuk memerangi I Dewa Gede Tangkeban. Akhirnya terjadilah
peperangan yang hebat, I Dewa Gede Tangkeban diserang dari selatan dan dari
timur, tidak kewalahan rakyat Nyalian menghadapi musuhnya, betapa ramainya
peperangan itu, sama-sama tidak ada yang mau mundur, tak ubahnya bagaikan
peperangan para Dewa melawan raksasa, mengakibatkan banyak rakyat dari kedua
belah pihak yang gugur, Para Kesatria Nyalian merasa sulit dalam peperangan
itu, seperti di Tusan Sema Agung dan
Koripan, mungkin sudah merupakan kehendak Hyang, lalu sanak keluarga dari I Dewa Gede Tangkeban kembali dari medan
laga, merasa kecewa kelihatannya, sambil menggrutu semuanya : kalau begini keadaannya kita semua
mendapatkannya, dikala bahagia tidak hirau pada sanak keluarga, begitulah
uring-uringan kekecewaan, sama begitu semua pendapatnya, hingga kembali dari
medan perang, namun hanya rakyat yang tetap tinggal di benteng pertahanan, lalu
dihaturkan kehadapan baginda I Dewa Gede Tangkeban akan hal demikian, yaitu dengan
kembalinya sanak keluarga baginda dari medan perang, maka segera I Dewa Gede
Tangkeban dengan diiringi pasukan tombak dari para pemuda yang berjumlah dua
ratus orang, berangkat kemedan perang. Pada waktu itu sekira dauh ro dengan
tergopoh-gopoh menuju medan perang, tanpa dirasa akhirnya segera tiba di Tusan,
disana dilihatnya sanak keluarga baginda berkumpul, semuanya pada tunduk tak
berani memandang I Dewa Gede Tangkeban,
menjadi marah padam wajah baginda, lalu beliau mengutuk semuanya, agar
tidak menemukan keselamatan dan yang tumbuh supaya putung, tak habisnya
kekacauan dalam keluarga. Setelah mengeluarkan kutukan itu, lalu segera baginda
berangkat ke medan laga, lalu tiba di Alang Sanja, setelah beristirahat sejenak
sambil memberitahu seluruh rakyat yang disana, lalu kembalilah lagi peperangan
sangat dahsyatnya, saling serbu, bagaikan gelombang memecah pantai, sangat
perwira tak ada yang mau mundur, akhirnya mungkin tidak tahu bahwa ini adalah
sudah takdir Hyang, lalu terkena I Dewa Gede Tangkeban oleh Ki Sliksik dan tepat
mengenai kepala diatas kening, beliau merasa terkena oleh Ki Sliksik lalu
mundurlah baginda diiringi oleh rakyat dan segera tiba di Nyalian, diselatan
Banjar Klaci bertemulah beliau dengan putranya yang baru kembali dari Nongan, yang
bernama I Dewa Gede Oka Sudira, seolah-olah berjanji pertemuan beliau itu, lalu
dielus-elus kepala putra baginda, seraya mengatakan bahwa baginda ayahnda telah
kena Ki Sliksik. Kemudian beliau mengeluarkan kutukan : JAH TAS MAT SIDI RASTU.
“ Baginda bersabda dengan disaksikan Hyang Agni, karena ingkar Raja Bangli dan
Tamanbali, seperti janjinya dulu, semoga keturunan Nyalian, menguasai kerajaan
Bangli dan Tamanbali, dan dihormati oleh preti sentana (keturunan) Bangli dan
Tamanbali. Lalu selanjutnya beliau kembali ke Puri, dan serta merta beliau memotong ujung keris Ki Lobar lalu ditelannya,
wafatlah beliau seketika, segera putra beliau menyembah baginda ayahnda,
setelah beliau menyembah, lalu segera mengadakan puputan dengan terlebih dahulu
menghabiskan seluruh keluarga, ada putra baginda raja masih bayi baru berumur
beberapa hari belum genap duabelas hari, dicemplungkan kedalam kolam, lalu
ditinggalkan kemedan perang, tak ada perkiraan beliau bayi itu tidak akan meninggal.
Dalam pengamukan I Dewa Gede Oka Sudira gugur. kemudian dilihat bayi yang di buang di kolam
dilihat boleh dayang-dayang dalam keadaan mengambang segera diambilnya dan
ternyata masih hidup, kemudian dilarikan
dibawa ke Tamanbali diiringi oleh
dua belas orang rakyat, begitu pula pretima di Pemerajan Sri Serengga
juga pretima di Dalem Nyalian. Setelah tiba di Tamanbali, dihaturkanlah bayi
itu kehadapan baginda raja Tamanbali I Dewa Gede Oka, serta dimaklumkan
pula bahwa bayi itu adalah putra dari
baginda Raja I Dewa Gede Tangkeban, dimana pada waktu puputan dibuang ke dalam
telaga, namun beliau (bayi itu) tidak wafat, maka bangkitlah rasa belas kasihan
baginda, lalu diupakara bayi itu layaknya upakara putra raja. Selanjutnya
diceritrakan mengenai baginda I Dewa Gede Oka, beliau mempunyai putra dari
permaisuri dua orang laki-laki yang tertua bernama I Dewa Gede Ngurah dan adiknya bernama I Dewa Nyoman Rai, banyak
pula putra dari garwa patni namun tidak diceritrakan dalam lontar, hanya ada
beberapa yaitu ; I Dewa Mecutan, I Dewa Nyoman
Madangan, Dewa Ketut Taman, Dewa Ayu Jembung, Dewa Pulasari, Dewa Batan Wani,
Dewa Tangeb, Dewa Bilukan, Dewa Branjingan, Dewa Mundung, Dewa Pindi, Dewa Perasi,
Dewa Kaler. I Dewa Kaler gamiya dengan ibu tiri, lalu diturunkan wangsanya
menjadi Pungakan Den Yeh, I Dewa Ketut Taman gamiya dengan I Dewa Ayu Jembung, lalu diperintahkan untuk dibunuh,
lalu I Dewa Ketut Taman lari ke Lombok dan I Dewa Ayu Jembung meninggal karena
meracun diri.
Kemudian
diceritrakan I Dewa Agung Sakti yang bertahta di Bangli wafatlah beliau karena
usia lanjut. Putra baginda yang tertua I Dewa Anom Mayun telah cakap memegang
pemerintahan. Ada lagi putra dari I Dewa Agung Sakti dari permaisuri wanita,
cantik dan berwibawa laksana bidadari menjelma langsing bentuk tubuh beliau dan
telah dewasa. Pada waktu wafatnya I Dewa Agung Sakti, I Dewa Nyoman Mayun hanya
menyampaikan ke Puri Gianyar tapi tidak menghaturkan berita duka ke Tamanbali.
Selanjutnya dilasanakan upacara Pelebon (pembakaran jenasah) lengkap dengan
upacara pemaligian. Setelah selesai semuanya, dikala I Dewa Anom Mayun
beristirahat, tiba-tiba datanglah utusan baginda Raja Tamanbali. Lalu menghadap
pada I Dewa Anom Mayun, utusan itu menjelaskan akan hal wafatnya I Dewa Agung
Sakti serta tidak memberi berita duka ke Tamanbali, namun hanya kepada I Dewa
Manggis di Puri Gianyar saja diberikan berita. Apa sebenarnya maksud I Dewa Anom
Mayun, kenapa lebih tunduk pada Gianyar
dan menjauhi keluarga Tamanbali demikian atur utusan itu, terdiamlah I Dewa Mayun. Kemudian barulah beliau menjawab
pertanyaan utusan dari Tamanbali itu, dengan singkat beliau berkata : “Kembali
saja hai engkau utusan”. Lalu setibanya di Tamanbali dihaturkanlah keadapan
baginda raja, tentang kata-kata I Dewa Anom Mayun itu. Hal itu menyebabkan baginda
merasa tersinggung, dan tidak cocok dengan I Dewa Anom Mayun. Akhirnya baginda
Raja Tamanbali, timbul niatnya untuk menjatuhkan I Dewa Anom Mayun, dengan
muslihat licik. Dihasutnya semua manca, punggawa dan prebekel supaya membenci I
Dewa Anom Mayun, dan hanya menghormati I
Dewa Ayu Den Bencingah. Itulah sebabnya lalu I Dewa Ayu Den Bencingah, dengan
membawa kawitan I Luk Telu, pergi menghadap ke Tamanbali, guna menyampaikan
rasa baktinya kehadapan baginda Raja Tamanbali. Sadar I Dewa Anom Mayun, karena
seluruh rakyat Bangli sudah tidak menaruh hormat lagi pada dirinya, lalu beliau
melarikan diri ke Gianyar. Ditengah perjalanan dijumpai oleh prebekel Apuan,
beliau menyatakan akan menyerahkan diri ke Gianyar dan tidak kembali lagi ke
Bangli. Hentikan ceritanya sampai disini.
Kemudian
I Dewa Gede Oka, baginda raja Tamanbali pindah ke Bangli, menjadi wali dari I
Dewa Ayu Den Bencingah. Sedangkan untuk di Tamanbali beliau I Dewa Gede Ngurah
dinobatkan menjadi raja. Putra baginda yang bernama I Dewa Nyoman Rai, diajak
ikut ke Bangli lalu dikawinkan dengan I Dewa Ayu Den Bencingah. Selanjutnya, I
Dewa Ayu Den Bencingah sudah biasa mengendalikan pemerintahan berkat bimbingan
baginda, dan telah pula bersuami lalu dinobatkanlah menjadi Raja Bangli
disertai I Dewa Nyoman Rai. Mengenai Putra dari Nyalian yang diberi nama I Dewa
Gede Kuat, ikut pula bersama ke Bangli. Oleh I Dewa Nyoman Rai ingin anak itu
dijadikan anak angkat, namun I Dewa Ayu Den Bencingah tidak mau memeras anak
itu hanya tetap sebagai anggota keluarga. Waktu pindah I Dewa Gede Oka ke
Bangli, ikut pula saudaranya dari penawing yaitu I Dewa Mecutan bertempat
tinggal di Bukit, I Dewa Nyoman Madangan di Banjar Pande, I Dewa Prasi di
Kikian. Keadaan kerajaan Bangli menjadi aman dan tentram, kerena baginda Ratu
sangat bijaksana mengatur pemerintahan, dan sangat memperhatikan kesejahtraan rakyatnya. Begitu pula keadaan
kerajaan Tamanbali, hingga kedua kerajaan Bangli dan Tamanbali menjadi aman dan
tenteram serta penuh kebahagiaan.
Semenjak
pecah perang Bangli dengan Karangasem, dimana Bangli dikalahkan oleh
Karangasem, dan kemudian direbut kembali, putuslah hubungan Bangli dengan
Karangasem, hingga tak pernah lagi melaksanakan piodalan di Pura Batu Madeg
Besakih. Maka dari itu dibuatlah pura pesimpangan Batu Madeg. Karena hal
demikian maka pada suatu hari, pada saat
malam hari, kebetulan I Mangku ada di Pura Batu Madeg di Besakih, terjadilah
hal istimewa dimana Lingganya Betara Batu Madeg Turun dinatar, lengkap bagaikan
ada upacara di Pura ada Umbul-umbul, sedang Lingganya Betara, berperilaku
sebagai seorang Raja, lalu Hyang Betara bersabda kepada I mangku, dititahkan
agar datang ke Bangli untuk menanyakan kehadapan baginda Raja Bangli, mengapa
telah lama tidak pernah ada piodalan di Pura Batu Madeg. Akhirnya segera I Mangku
berangkat ke Bangli sedang Ida Betara tetap ada di Pura. Segera I Mangku tiba di Bangli, lalu I
Mangku matur kehadapan baginda halnya Betara Batu Madeg turun serta bersabda,
agar I Mangku menyatakan kehadapan baginda, mengapa beliau telah lama sekali
tidak pernah menghaturkan piodalan di Pura Batu Madeg. Lalu dijawab oleh
baginda Raja, bahwa tidak benar beliau
yang harus melaksanakan piodalan di
Pura Batu Madeg, tetapi ada keluarga beliau yang lebih tua yang sepantasnya
melaksanakan piodalan di Pura Batu Madeg yaitu baginda raja di Tamanbali. Lalu
dititahkan supaya I Mangku datang menghadap ke Tamanbali. Segera pula I Mangku
menghadap ke Tamanbali, dan setelah tiba di Tamanbali I Mangku matur sama
seperti dihaturkan di Bangli, demikian pula penjelasan baginda raja Bangli
kemudian dijawablah oleh baginda Tamanbali bahwa tidak benar beliau yang
mempunyai tugas di Batu Madeg, melainkan beliau Raja Bangli beserta seluruh
rakyatnya yang seharusnya menghaturkan piodalan di Pura Batu Madeg dan
dititahkan I Mangku untuk kembali ke Bangli. Tiba di Bangli dihaturkan pula
mengenai jawaban baginda Tamanbali, tetapi baginda Raja Bangli tetap pada
pendiriannya beliau tidak mau menghaturkan
piodalan di Pura Batu Madeg. Akhirnya kembalilah I Mangku Batu Madeg ke
Pura, setibanya di Pura waktu malam, hari minggu tetap tak berubah kedudukan
Hyang Bhatara, lalu I Mangku menghaturkan tentang penolakan baginda raja
keduanya. Lalu bersabdalah Hyang Bhatara
pada I Mangku bahwa Hyang Bhatara akan mengadakan Pancaroba (kali sengara) yang
akan menyebabkan rusaknya baginda raja, setelah selesai bersabda demikian lalu
moksahlah lingganya Bhatara tak Nampak lagi, menjadi gelap seketika dan hanya I
Mangku yang tahu hal itu.
Berselang
beberapa lama kemudian, karena sudah lanjut usia I Dewa Gede Oka, wafatlah
beliau kemudian lanjut dilaksanakan
upacara pelebon oleh baginda I Dewa Nyoman Rai serta kepada Ibunda yaitu
permaisuri dari Dewa Gede Oka dimintanya untuk bersatya (ikut diupakara pelebon bersama ayahnda/ suaminya) tetapi
ibunya tidak mau karena tidak berani dan merasa takut sekali, namun I Dewa
Nyoman Rai memasakan kehendaknya dan oleh baginda I Dewa Nyoman Rai tetap diadakan persiapan
upacara pesatiyan, setelah tiga hari pelaksanaan pelebon lalu semuanya ke tunon
(kuburan). Pada waktu sedang berlangsung pembakaran jenazah almarhum
ayahndanya, dimana api sedang berkobar-kobar ibunya tetap tak berani
melaksanakan satiyanya. Oleh baginda I Dewa Nyoman Rai ditariknyalah Ibunya dan
dipaksa untuk dilemparkan ke dalam api hingga akhirnya wafatlah Ibundanya
kembali bersama-sama baginda suaminya.
Setelah itu I Dewa Nyoman Rai menjadi seperti orang gila tingkah lakunya karena
perbuatan beliau terhadap almarhum Ibundanya. Sehingga menjadi bertambah
bingung baginda raja Bangli Idewa Ayu Den Bencingah. Kemudian teringat I Dewa
Nyoman Rai terhadap keluarganya yaitu I Dewa Ketut Taman yang lari ke Lombok
kemudian diminta supaya dia datang ke Bangli dan setelah datang diberikanlah
tempat di Demulih, dan kemudian bahagia bersama keluarga.
Dan
kembali sudah merupakan masa datangnya Pancaroba, akhirnya sama pula datangnya suatu keadaan baginda I Dewa Gede
Ngurah raja Tamanbali beliau sama juga halnya seperti orang gila. Pada suatu ketika
beliau menyerahkan rakyatnya untuk memerangi Bangli seperti upacara Dewa pergi ke tempat air suci ulah
baginda, lengkap dengan tombak, umbul-umbul serta gong, hanya pengiringnya
adalah prajurit, setibanya di Bangli, ternyata keadaannya tenang-tenang saja,
sepi tidak ada reaksi, sedang baginda Raja Bangli tetap tinggal di Puri, dan
semua pintu ditutup rapat-rapat. Lalu I
Dewa Gede Ngurah mengelilingi Puri Bangli, tetapi tetap tidak ada musuh yang
akan dilawan, maka hanya balai gong lalu dibakarnya, lalu kembali ke Tamanbali.
Setelah api padam barulah baginda I Dewa Nyoman Rai keluar dari puri untuk
melihat keadaan. Lalu timbulah niat baginda untuk membalas perbuatan baginda
raja Tamanbali, dicarilah akal untuk membencanai baginda kakandanya. Setelah
mendapat suatu cara, pergilah I Dewa
Nyoman Rai ke Tamanbali, setelah tiba langsung ke puri menemui I Dewa Gede
Ngurah. Setelah bertemu lalu I Dewa Nyoman Rai
langsung mengumpat kakaknya, dikatakannya bahwa beliau orang gila, maka
kedatangannya adalah untuk memasung baginda Kakanda. Tenyata I Dewa Gede Ngurah
menyerah saja, tunduk kepada kehendak I Dewa Nyoman Rai. Lalu dipasunglah I
Dewa Gede Ngurah, dan setelah selesai lalu baginda I Dewa Nyoman Rai kembali ke
Bangli. Kemudian setelah adindanya
pergi, lalu berkumpulah semua sanak keluarga dan para patih selanjutnya I Dewa Gede
Ngurah dikeluarkan dari pasungan. Beliau menjadi sangat marah tak dapat
menerima perbuatan adiknya, lebih-lebih sampai memasungnya. Lalu beliau mengutus
seorang patih menghadap I Dewa Manggis
di Gianyar untuk meminta bantuan, ternyata rela I Dewa Manggis untuk membantu
raja Tamanbali. Setelah siap lagi untuk mengadakan perang, maka rakyat dari
kedua baginda Raja baik Bangli maupun Tamanbali, lalu saling tukar tempat
pertahanan, rakyat Kubu seolah-olah memihak Tamanbali dan bersiap disana dan rakyat
Guliang seolah-olah memihak Bangli dan bersiap disana, demikianlah keadaan
kerajaan banyak tak diceritrakan dalam lontar.
Adapun
saling memihak, karena sadar bahwa rajanya keduanya dalam keadaan gila, dan
dengan telah datangnya masa kehancuran, namun rakyat Tamanbali maupun
Bangli tetap taat melaksanakan
perang-perangan dengan sangat hebatnya, tak ubahnya bagai gelagah (sebangsa
alang-alang) dibakar suaranya bedil, disertai sorak sorai tak hentinya, saling
kepung (kejar mengejar) dengan lawannya selama tiga hari demikian keadaan
perangnya. Didalam keadaan demikian, lalu datanglah seorang utusan Dalem yang
bernama Ki Badak, menghadap baginda Raja Tamanbali memaklumkan bahwa Baginda Dalem bersedia membantu baginda Raja
Tamanbali begitu juga Gianyar, dan paduka Dalem kini telah berada di Blahpane
diiringi rakyat sebanyak lima ribu orang lengkap dengan senjata semuanya. Lalu berpikir-pikir baginda
I Dewa Gede Ngurah Raja Tamanbali akhirnya beliau berpendapat bahwa tidak benar
apa yang dinyatakan oleh Baginda Dalem, melainkan Dalem berkehendak berperang
melawan Tamanbali, maka baginda Raja Tamanbali akan memerangi Dalem. Hal itu
disetujui oleh I Dewa Manggis di Gianyar. Maka berduyun-duyunlah rakyat, manca
dan punggawa beserta sanak keluarga mengiringkan baginda seperti megowak-gowakan
ulah baginda hendak memerangi Dalem. Akhirnya diserbulah Dalem dengan hebatnya
mengamuk hingga rakyat baginda lari tunggang langgang, sementara baginda Dalem
jatuh kejurang dan wafatlah baginda tertindih rakyatnya, disamping itu banyak
juga yang meloloskan diri.
Setelah
selesai memerangi Dalem, lanjut memerangi Bangli seperti yang lalu lagi rakyat
berperang, tak ada rakyat yang mati tetapi karena adanya pasukan bantuan dari
Gianyar, ikut bergabung mereka menembak dan menombak dengan sungguhan, akhirnya
lima, sepuluhpuluh, dua puluh rakyat Bangli yang mati. Mengetahui hal demikian,
ternyata perang telah menjadi sungguhan, maka seluruh pasukan Bangli akhirnya
sepontan membalas dengan menembak dan menombak hingga menjadi peperangan sungguhan
kini banyak yang berguguran dari kedua belah pihak, lalu ada bantuan untuk
pasukan Bangli dari I Dewa Gede Dangin turunan Nyalian, dengan pasukan sebanyak
dua ribu orang, bertambah-tambah serunya peperangan itu, dan karena pengamukan
rakyat Tamanbali dan Gianyar maka banyak pasukan Bangli dan bantuan yang gugur.
Karena waktu telah sore maka berhentilah peperangan itu, masing-masing mundur
dari medan laga. Demikian pula pasukan
bantuan dari Sidemen banyak pasukannya yang gugur, dan berpesan kepada I
Dewa Nyoman Rai agar hati-hati menjaga keselamatan jiwanya, karena mereka akan
kembali dulu ke Sidemen.
Berselang
lagi tiga harinya, datanglah lagi pasukan dari Sidemen untuk merundingkan
kelanjutan perang, diterima oleh I Dewa Nyoman Rai dengan gembira dan penuh
terima kasih, lalu beliau menyerahkan sebuah lelancang mas (tempat sirih),
sebagai tanda balas jasa yang begitu besar dan penuh keikhlasan, namun tidak
mau diterima oleh I Dewa Gede Dangin, lalu pulang kembali ke Sidemen. Berselang
semalam, besok paginya karena merasa jengah Baginda Raja Bangli, lalu beliau
memerintahkan pada I Dewa Ketut Taman dan I Dewa Mecutan, untuk menyelidiki
musuh karena beliau bertekad untuk perang habis-habisan. Dengan mengerahkan
pasukan laki dan perempuan, lalu berangkatah keduanya tidak dengan pasukan
hanya disertai beberapa sahabat. Setibanya di Penunggekan langsung terjadi perang, akhirnya I Dewa
Ketut Taman gugur disana, hingga disebut “Dewata mantuk ring Penunggekan”
sampai sekarang. I Dewa Mecutan
berperang di Tegal, diperkirakan beliau telah tewas, lalu dilarikan oleh
rakyat dan dibawanya ke rumahnya di Tegal. Karena demikian lalu dilaporkan
kehadapan baginda I Dewa Nyoman Rai, bahwa kedua keluarga beliau telah gugur, lalu
segera baginda berangkat diiringi pasukan laki perempuan seribu empat ratus
orang. Terjadilah lagi perang yang hebat
di penunggekan, akhirnya kalahlah musuh, lalu mundur ke selatan, terus dikejar
oleh I Dewa Nyoman Rai, arah tenggara penyerbuan beliau, dan setelah tiba di
persawahan terlihat oleh baginda musuh
di barat menyerbu arah Tiingadi, teringatlah baginda pada raja putri, lalu
beliau balik kembali dan setibanya di pasar terjadilah perang sengit, banyak
musuh yang mati, begitu pula pasukan Bangli banyak pula yang gugur dan terluka.
Ada seorang perbekel bernama I Lempor
turunan Gaing, direbut oleh musuh, dia sendiri tidak mati. Setelah sore hari
lalu baginda Raja mundur sampai di Bukit. Timbul niat beliau untuk memerangi
musuh dikala malam hari. Lalu baginda berangkat untuk berperang lagi, I Dewa
Nyoman Rai berjalan melalui jalan raya bersama baginda Ratu I Dewa Ayu Den
Bencingah, diiringi oleh pasukan laki maupun wanita, dapat dikalahkan musuh di
bencingah dan dipasar, karena gelap maka hanya memerangi musuh yang ada di
depannya, kemudian di pancoran pasar
(permandian), ditusuk-tusuk dengan tombak, ternyata disana ada juga musuh
bersembunyi, hal itu diketahui, ketika baginda I Dewa Ayu Den Bencingah
mendirikan tombaknya ada darah menetes mengenai bahunya, maka kembali di tombak
musuh yang ada di sana hingga mati semuanya. Juga diceritrakan mengenai
peperangan Sang Abagus (I Dewa Kuat) di
Puri, bersama para pemuda. Sang Abagus sudah pula dewasa dan sudah layak terjun ke medan perang.
Beliau sangat perkasa menghadapi musuh, sehingga setiap musuh yang memasuki
puri dapat dikalahkan. Setelah meneliti keadaan di Puri aman, lalu beliau
melanjutkan peperangannya sampai di Ancaksaji, disaksikan oleh baginda I Dewa
Nyoman Rai dan bersyukurlah beliau karena Sang Abagus dapat diandalkan menjaga Puri dan ternyata tak terkalahkan
oleh musuh. Setelah sepi tak ada musuh yang berani menampakkan diri, lalu
baginda ratu kembali ke Bukit untuk istirahat.
Pada saat itu I Dewa Nyoman Rai lalu mengadakan pertemuan dengan rakyat
di gunung, Kayubihi dan Pengotan. Semua sepakat untuk mengadakan perang
habis-habisan. Sedang I Dewa Ayu Den Bencingah, mengadakan persembahyangan dan
bersemadi di Pura Kehen. Dalam semadinya itu baginda mendapat anugrah Hyang,
dan tak akan terkalahkan oleh musuh. Berselang tiga hari, setelah siap
semuanya, pasukan gunung telah pula banyak yang datang laki perempuan, lalu
berangkatlah untuk memulai perang. Baginda
I Dewa Nyoman Rai melalui jalan sebelah utara Pura Penataran Agung,
sedangkan bagida Raja Putri melalui jalan Raya. Sang Abagus ikut I Dewa Nyoman
Rai. Pada waktu itu musuh sedang bersenang-senang, karena lawannya telah mundur
dan tak tahu dimana berada, sehingga
mereka berani berhela-hela, Cokorda Mas sedang istirahat sebelah timur
bale banjar kawan, datang dari mandi di Arca, lalu datanglah I Dewa Nyoman Rai
dari utara, setelah berjumpa lalu beliau menyuruh Cokorda Mas supaya pulang
saja kembali. Tetapi Cokorda Mas menolak dan beliau bersedia untuk berperang
tanding melawan I Dewa Nyoman Rai, sangat tangkas Cokorda Mas memainkan tombak,
lebih rendah ketangkasannya I Dewa Nyoman Rai, hingga hampir saja beliau tewas
terkena, kalau saja waktu itu tidak ditolong oleh Sang Abagus, hingga lama
terjadi perang disana. Demikian pula peperangan I Dewa Ayu Den Bencingah,
diiringi pasukannya dapat mengalahkan musuh yang ada di Bencingah, kewalahan
musuhnya menghadapi baginda, lalu lari musuhnya ke selatan. Kemudian terlihat
oleh baginda ratu, suaminya sedang bertarung disebelah barat, maka segera I
Dewa Ayu Den Bencingah membantu kesana. Tatkala Cokorda Mas sedang memandang I
Dewa Nyoman Rai, dengan cekatan ditombak Cokorda Mas oleh I Dewa Ayu Den
Bencingah dan gugurlah Cokorda Mas. Setelah musuh pada lari, lalu beliau
beristirahat di Bencingah. Beberapa saat kemudian lalu baginda memerintahkan
untuk menyuarakan kentongan I Gejen, untuk segera pasukan bersiap-siap, lalu
datanglah semuanya, berangsur-angsur, dan dalam pada itu datanglah bantuan dari
Sidemen kira-kira dua ribu banyaknya, gembiralah I Dewa Nyoman Rai, lalu
berangkatlah bersama-sama. Mengetahui hal demikian maka musuh pada lari lalu
pasukan Bangli segera mengejarnya. Amat cepat larinya orang-orang Gianyar, lalu
melaporkan kepada I Dewa Manggis, dan beliau memerintahkan agar rakyatnya
bertahan di Jagaperang, dan bantuan
dikirim kesana. Sedang pasukan Tamanbali terus berperang, dan setelah banyak
yang gugur dan terluka lalu I Dewa Gede Ngurah mundur bersama sanak keluarganya
masuk ke Puri. Pasukan Bangli bersama bantuan dari Sidemen terus mengejarnya,
lalu Puri Tamanbali dikurungnya. Akhirnya keluarga I Dewa Gede Ngurah
beserta semua yang ada di Puri, beliau
bertekad berperang sampai akhir hayat, lalu diserbulah dan direbutlah beliau
oleh pasukan Bangli dan Sidemen lalu gugurlah I Dewa Gede Ngurah bersama sanak
keluarganya. Sedang anggota keluarga yang ada di luar Puri sisa yang dari yang
gugur lalu melarikan diri terpencar ke daerah lain, tidak sama daerah yang
ditujunya tapi sesuai dengan kehendak masing-masing.
Kemudian
ada datang keluarga dari I Dewa Gede Ngurah dari penawing yang tinggal di
Bunutin, melapor bahwa mereka tidak ikut-ikutan dalam peperangan baginda
keduanya, dan menyatakan menyerahkan diri serta tunduk pada I Dewa Nyoman Rai, sehingga
dengan rela dan senang hati menerimanya. Lalu dilanjutkan pengejaran musuh kearah
selatan, sampai di Jagaperang ternyata disana pertahanan sangat kuat dan tak
terkalahkan, lalu peperangan dihentikan
sampai Bukit Jati batas selatan wilayah Bangli. Sedang Sidan, Tulikup
dan Temesi yang tadinya adalah wilayah Tamanbali, kepada Gianyar menggabungkan
diri. Kemudian baginda Raja kembali ke Bangli, setelah itu lama kerajaan Bangli
dalam keadaan aman dan tenteram.
Mengenai
saudara dari I Dewa Nyoman Rai, yaitu I Dewa Mecutan, tidak wafat waktu
berperang di Tegal, tapi sangat menderita karena lukanya, setelah diketahui
oleh baginda Raja, lalu segera dibawa ke Puri serta diobati. Setelah sembuh
sangat disayang beliau, karena keperwiraannya. I Dewa Mecutan mempunyai putra
tiga orang, yang tertua bernama I Dewa
Nyoman Pande, tinggal di Bukit, I Dewa Gede Oka di Puri Kanginan, I Dewa Gede
Raka tinggal di Tamanbali. I Dewa Nyoman Madangan mempunyai putra bernama I
Dewa Segara. I Dewa Ketut Taman mempunyai putra perempuan diambil oleh I Dewa
Gede Raka di Tamanbali. Ada lagi seorang perempuan kawin ke Payangan, sedang
putra laki-lakinya gugur keduanya.
Beberapa
lama kemudian ada utusan dari I Dewa Manggis, menghadap I Dewa Nyoman Rai, memaklumkan bahwa ada
seorang putri dari I Dewa Manggis yang diambil oleh I Dewa Gede Ngurah Raja
Tamanbali almarhum, kini kehendak I Dewa Manggis kepada I Dewa Nyoman Rai
diserahkan untuk dijadikan istri, maka dari itu I Dewa Nyoman Rai dimohon
datang ke Gianyar, untuk membicarakan hal itu. Baginda I Dewa Nyoman Rai
menyetujui permohonan itu, lalu utusan itu kembali ke Gianyar. Berselang empat
hari kemudian, I Dewa Nyoman Rai datang ke Gianyar dan diterima oleh I Dewa
Manggis dengan penuh kekeluargaan. Beberapa hari kemudian setelah ada hari baik kembali I Dewa Nyoman
Rai datang ke Gianyar, dan sebulan waktu itu I Dewa Manggis sedang mengadakan
pertemuan dengan keluarga, manca dan punggawa. Ada juga I Gusti Ketut Kesiman
hadir disana, beliau adalah Raja Badung. Dalam pertemuan I Dewa Manggis dengan
Baginda Raja Bangli I Dewa Nyoman Rai, sama-sama gembira dan lama berlangsung
pembicaraan kekeluargaan, kemudian I Dewa Manggis nyeletuk mengatakan bahwa I
Dewa Nyoman Rai pernah memburu manca punggawa Gianyar tapi I Dewa Nyoman Rai
pernah juga diburu oleh manca punggawa Gianyar. Menjadi muram seketika wajah
baginda Raja Bangli, setelah mendengar kata-kata I Dewa Manggis demikian,
beliau merasa dihina lalu bangkit rasa marahnya, kemudian bangkit dari
duduknya, dengan mata melotot, dan berkata, bahwa dirinya tidak pernah diburu
oleh manca punggawa Gianyar. Lalu dimintanya I Dewa Manggis supaya mengadu baik
orang perorang maupun direbut oleh manca-punggawanya untuk perang tanding
sesuai kehendak manca-punggawa, I Dewa Nyoman Rai bersedia menandingi. Dikala
demikian keadaan baginda Raja Bangli tak seorangpun berani mengeluarkan kata. Seluruh
peserta pertemuan merasa takut, lalu berkata punggawa Bitra, dimana beliau itu
adalah tertua dan memiliki banyak muslihat dibandingkan yang lainnya, dengan
nada suara lembah-lembut dan manis beliau mohon maaf terhadap baginda raja
Bangli. Hingga redalah rasa marah
baginda I Dewa Nyoman Rai, hingga pertemuan kembali akrab penuh kekeluargaan
seperti semula, sama-sama lapang perasaan baginda raja keduanya. Lalu punggawa
Bitra berdatang sembah kehadapan baginda raja Bangli, mohon untuk sudi kiranya beliau singgah ke Bitra, untuk bersama – sama menyaksikan
kepandaian si paras paros mengambang di sungai, yang tak ubahnya bagai sehelai
daun kayu mengapung. Dengan senang hati I Dewa Nyoman Rai menerima undangan
itu, lalu berangkatlah baginda bersama punggawa Bitra menuju ke Barat, dan
baginda raja Gianyar lalu masuk kedalam istana. Cepat perjalanan baginda I Dewa
Nyoman Rai, hingga tiba di Bitra dan bersama punggawa Bitra lalu menyaksikan Si
Paras Paros mencebur kedalam kolam. Karena hari telah malam maka menginaplah
baginda di Bitra, sangat baik penerimaan punggawa Bitra terhadap baginda
sebagai tamunya. Pada malam itu tatkala baginda I Dewa Nyoman Rai masih terjaga
ditempat peraduannya, teringatlah beliau akan kemarahannya terhadap baginda
raja Gianyar, lalu timbul kecurigaannya, jangan-jangan nanti raja Gianyar merebut
beliau bersama prajuritnya, karena dalam pertemuan itu juga I Dewa Nyoman Rai
mengeluarkan kata-kata menantang, para manca punggawa, sehingga beliau harus
siap siaga. Ada mamas (tombak) milik punggawa Bitra, itu diambil semuanya.
Dikala langit sebelah timur telah memerah, lalu keluarlah baginda I Dewa Nyoman
Rai sambil berteriak-teriak menantang rakyat Gianyar untuk berperang, lalu
terus berjalan kearah timur sambil terus berujar untuk merebut beliau, lamban
langkah beliau. Tatkala beliau melontarkan kata-kata penantangannya terlihat
gemercikan api, seperti baja dipukulkan pada batu, pada ikat pinggang
(sesabukan) beliau, juga api bagai kilat terbang keangkasa, disertai suara
bagai guruh, tetap demikian halnya. Waktu beliau melewati Puri Gianyar menuju
arah utara di bencingah Gianyar, tak ada rakyat Gianyar keluar memerangi
baginda, akhirnya segera tiba di Selati daerah wilayah Bangli. Disana beliau
bertemu dengan baginda I Dewa Ayu Den Bencingah, beserta pasukan laki-laki
serta perempuan lengkap dengan senjata, beliau sedianya berperang ke Gianyar,
karena mendengar suara kentongan di Gianyar, seperti ada perang kiranya disana,
jangan-jangan suami baginda direbut disana, dan memang ada berita demikian,
sehingga bagida Raja Putri segera berangkat.
Lalu
pulanglah baginda Raja Bangli bersama-sama Permaisuri baginda, dan di sepanjang jalan bercengkrama
penuh kegirangan dan gelak tawa karena betapa bangganya baginda Raja Putri,
setelah mendengar ceritra baginda suaminya, dimana beliau telah menantang
Rakyat Gianyar untuk merebut beliau, namun tak berani memerangi beliau, tak
lama antaranya lalu tibalah beliau kembali di Bangli. Kembali pecah Bangli dengan
Gianyar.
Karena girang dan bangga, sampai beliau lupa,
bahwa kuda Ki Gando Wesi tertinggal di Bitra, dan kuda itu di tawan di Gianyar.
Lalu segera beliau mengirim utusan ke Gianyar, maka di buat perjanjian, kalau
mamas Bitra di kembalikan oleh beliau baginda raja Bangli, maka kuda Ki Gando
Wesi akan dikembalikan oleh baginda Raja Gianyar. Maka setujulah baginda raja
Bangli hingga Mamas Bitra diserahkan dan kuda Ki Gando Wesi diterima kembali ke
Bangli. Hanya beberapa waktu lamanya ketentraman baginda raja, dengan telah
tibanya masa kehancuran, bagi I Dewa Nyoman Rai, berawal dari masalah interen,
karena terkungkungnya I Dewa Ayu Den Bencingah oleh rasa cinta asmaranya. Angan-angannya
membabi buta, untuk menyatu dengan Sang Abagus, yaitu anak dari keturunan
Nyalian, karena sangat tampan dan berwibawa paras beliau, bagai Hyang Semara
menjelma, sehingga selamanya tak pernah surut niat I Dewa Ayu Den Bencingah
untuk menyatu hati dengan Sang Abagus, akhirnya terjadilah hubungan asmara, dan
terus berlanjut lama keadaan itu. Pada waktu I Dewa Ayu Den Bencingah duduk di
bebaturan balai petandakan sedang menghitung uang disana, lalu datanglah seekor burung Gagak hinggap diatas gelung di
muka Puri Rum, dan lama bersuara ngagalok, lalu berkatalah baginda I Dewa Ayu
Den Bencingah : He engkau burung Gagak, cabutlah nyawaku, untuk segera aku
mati, aku telah bosan hidup. Lalu oleh seoang abdi yang menyertai beliau
disana, disela apa yang diucapkan oleh baginda raja putri; Inggih Jro Taksu
(gagak) janganlah mencabut hayat baginda raja Putri, jiwaku segera cabut, sebagai pengganti jiwa junjunganku. Besoknya matilah
abdi beliau itu. Tatkala I Dewa Ayu Den Bencingah berujar demikian didengarlah
oleh I Dewa Nyoman Rai, datanglah beliau kesana, dan serta merta diambil
istrinya lalu dibanting (dengan kepala kebawah) ke Natar, hingga kain baginda
melorot (sungkab) karena kaki beliau keatas. Tanda bekas kepala baginda ditanah
(cekok) besarnya segenggam dan tempat itu lama orang tak berani melangkahi.
Setiap orang yang berani melangkahi bekas I Dewa Ayu Den Bencingah dibanting,
segera jatuh sakit, maka maklumlah I Dewa Nyoman Rai, bahwa permaisuri beliau
itu adalah sakti.
Berapa
lama antaranya tersebar berita, bahwa I Dewa Ayu Den Bencingah sering
mengadakan hubungan badan dengan Sang Abagus, di dengar oleh Baginda I Dewa
Nyoman Rai, lalu beliau memerintahkan seseorang untuk pergi ke Banyuwangi
membeli sebuah kwali besar (jambangan). Setelah kuali itu datang, I Dewa Ayu
Den Bencingah dan Sang Abagus akan dimasukkan kedalam kuali itu menjadi satu,
dan dibawah kuali itu dinyalakan api unggun.
Maklum
I Dewa ayu Den Bencingah akan kehendak I Dewa Nyoman Rai demikian, lalu beliau
segera mencari upaya untuk membalasnya,
pada tengah malam lalu beliau mengadakan rapat dengan punggawa, manca, mantri
serta perbekel, untuk membicarakan permasalahan yang beliau hadapi, dan beliau
berkehendak untuk membunuh baginda suaminya, karena beliau telah berani
merencanakan untuk merebus diri baginda dan Sang Abagus. Akhirnya peserta rapat
semuanya setuju dengan kehendak baginda raja Putri. Pada waktu I Dewa Ayu Den
Bencingah rapat di Pura Penataran Agung, keluarlah I Dewa Nyoman Rai dari
peraduan untuk buang air kecil, lalu dilihatnya langit di angkasa berlobang
(bolong) sadarlah beliau akan datangnya bencana, lalu beliau kembali
keperaduan. Dalam pada itu datanglah duta dari I Dewa Ayu Den Bencingah untuk
membunuh I Dewa Gede Rai di peraduan. Namun semua duta tak berani menaiki
bebaturan. Menjelang pagi kembalilah para duta itu. Dan selama tiga hari
diupayakan hal itu namun tak membawa hasil. Dihari keempat baru I Dewa Ayu Den
Bencingah ikut, beliau hanya berdiri di pintu, barulah para duta berani
mendobrak masuk ditempat I Dewa Nyoman Rai, dan ditikamlah beliau oleh punggawa
Susut. Beliau sebagai pelopor dulu lalu direbut oleh duta lainnya, kemudian I
Dewa Nyoman Rai berujar bahwa beliau rela mati, karena sudah merupakan perintah
baginda Permaisuri I Dewa Ayu Den Bencingah, tidak dihiraukan kata-kata itu,
lalu para duta berebut menikamnya akhirnya sampai di sumanggen wafatlah baginda
I Dewa Nyoman Rai. Lalu lanjut diadakan upacara pelebon sampai pada pemukuran.
Setelah selesai mengadakan upacara itu, lalu I Dewa Ayu Den Bencingah kawin
dengan Sang Abagus, langsung pula dengan upacara penobatan Raja, dengan gelar I
Dewa Gede Tangkeban, yaitu mengambil gelar baginda ayahanda. Setelah itu aman
tentramlah keadaan kerajaan Bangli, berkat kepemimpinan baginda Ratu, tidak
henti-hentinya baginda mengupayakan ketentraman negara, bekerja sama dengan
punggawa, manca, prebekel serta didampingi Pendeta Siwa Budha, bagaikan Prabu
Kresna, karena baginda Ratu pemberani, dharma dan bakti. I Dewa Ayu Den
Bencingah tetap sebagai raja putri dan I Dewa Gede Tangkeban kemudian kawin
lagi dengan Jro Intaran, Jro Tebwana, dan Jro Gaing. Adapun I Dewa Ayu Den
Bencingah tak ada beliau berputra, baik waktu perkawinan dengan I Dewa Nyoman
Rai maupun dengan I Dewa Gede Tangkeban. Diceritrakan mengenai ketiga istrinya
dari baginda I Dewa Gede Tangkeban, ketiganya mempunyai putra, yang mempunyai
putra tertua yaitu Jro Tebwana, putranya laki-laki berparas tampan dan
berwibawa dan diberi nama oleh baginda ayahanda I Dewa Gerudug, beliau lalu
diangkat anak ( diperas ) oleh
baginda
Ratu I Dewa Ayu Den Bencingah. Jro Gaing mempunyai putra laki-laki bernama I
Dewa Made Rai. Jro Intaran mempunyai putra laki-laki diberi nama I Dewa Ketut
Intaran. Ada lagi putranya perempuan bernama I Dewa Ayu Rai kawin ke Puri
Kanginan. Setelah ketiga putra itu dewasa lalu masing-masing I Dewa Nyoman Rai
berpuri di Puri Kelodan, I Dewa Ketut Intaran di Puri Kawan dan I Dewa Gerudug
tinggal bersama ayahanda di Puri Rum. Setelah berapa lama wafatlah I Dewa Gede
Tangkeban di Puri Rum. Sedang pemaisuri beliau lebih dulu wafat karena usia
lanjut. Kemudian putra baginda I Dewa Gede Gerudug menggantikan menjadi Raja
Bangli. Setelah upacara penobatan,
bergelar I Dewa Gede Tangkeban sama
dengan gelar baginda ayahanda. Beliau mempunyai istri sebagai permaisuri, putri
dari Raja Tampaksiring bernama I Dewa Ayu Oka. Setelah lama mendampingi baginda
Raja sebagai permaisuri mempunyai putra yang tertua ; I Dewa Gede Oka, I Dewa
Ayu Made Agung, I Dewa Gede Ngurah, I Dewa Ayu Raka (kawin ke Lingarsa Pura/ Kelungkung dengan Dalem I Dewa Agung Putra tahun Icaka
1781), Dewa Agung Cokorda, Dewa Ayu Rai, Dewa Ayu Agung, I Dewa Gede Rai, I
Dewa Gede Anom, I Dewa Gede Putu, I Dewa Gede Alit. Juga ada putra penawing
dari ibunya bernama Jro Naksa mempunyai putra bernama I Dewa Nyoman Naksa, I
Dewa ketut Naksa dan I Dewa Made Naksa. Dari ibu Jro Telabah mempunyai putra bernama I Dewa
Made Telabah dari Jro Dangin mempunyai putra bernama Dewa Ayu Anom Dangin. Dari
Ibu Jro Tangkas mempunyai anak bernama Dewa Ayu Nyoman Tangkas. Dari Ibu Jro
Gaga mempunyai anak bernama Dewa Ayu Made Gaga.
Demikian
putra - putra dari I Dewa Gede Tangkeban sebagai tersebut diatas.